
Keragaman budaya adalah keseluruhan struktur sosial yang di dalamnya terkandung pengetahuan, adat istiadat, kepercayaan, kesenian yang ada di masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam konteks Indonesia, keragaman budaya ini merupakan hasil interaksi dari kebudayaan lokal dari berbagai suku bangsa yang tersebar di penjuru negara dengan berbagai kondisi geografisnya pula.
Tidak hanya itu, keragaman budaya ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan luar yang datang ke Indonesia. Oleh karenanya, Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman budayanya yang tertinggi, baik dari yang tradisional hingga modern.
Salah satu hasil dari keragaman budaya Indonesia adalah jamu tradisional. Khasiat dari produk budaya ini diyakini oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun hingga saat ini. Eksistensinya tidak tergoyahkan di tengah perkembangan ilmu farmasi yang telah menghasilkan berbagai obat kimia.
Setelah melihat hal tersebut, Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara (Kamasutra) UGM mengangkat tajuk “Harmoni dalam Keragaman: Jamu Sehat Indonesia Kuat” dalam pelaksanaan Sarasehan Nusantara V Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Daerah se-Indonesia (IMBASADI). Tujuannya adalah untuk memberikan langkah nyata dalam upaya pengenalan, pelestarian, dan pengembangan keragaman budaya daerah di Indonesia dalam bidang obat-obatan tradisional.
Kegiaatan ini dilaksanaan pada 25-29 April 2019 lalu bertempat di Fakultas Ilmu Budaya UGM. Peserta acara ini merupakan perwakilan dari berbagai universitas di Indonesia yang mempunyai program studi sastra daerah dan tergabung dalam IMBASADI.
Dalam seminar yang merupakan salah satu rangkaian acara Sarasehan V IMBASADI pada Jumat (26/4), Prof. Dr. Mustofa, Apt., M.Kes., selaku pembicara, menjelaskan bahwa perbedaan mendasar dari jamu dan obat kimia terdapat pada cara penemuannya. Menurutnya, jamu ditemukan oleh nenek moyang atas dasar pengalaman dengan lingkungan sekitarnya.
“Nenek moyang kita berinteraksi secara empiris dengan alam tempat ia tinggal. Tanpa ilmu kedokteran pada zaman dahulu, mereka mencari dari alam, entah tumbuhan, hewan atau campuran keduanya lalu diolah dengan cara sederhana sebagai bahan untuk mengobati penyakit,” ujar Direktur Direktorat Penelitian UGM ini.
Mustofa menyebut hal itu berbeda dengan obat kimia yang ditemukan oleh para ilmuwan dengan penelitian laboratorium terstruktur dan ilmiah. “Obat kimia dibuat dengan proses panjang dari hasil uji klinis berbagai senyawa kimia, walaupun bahannya juga diambil dari alam” tuturnya.
Akan tetapi, Mustofa menyatakan bahwa dengan perkembangan ilmu farmasi dan kedokteran, saat ini jamu sudah banyak mengalami proses pengujian baik secara klinis maupun ilmiah. Perpaduan ilmu tradisional dan modern ini menghasilkan obat herbal yang sudah banyak dikenal saat ini. “Selain itu, berbagai obat kimia juga telah ditemukan dengan bahan dasar yang diilhami dari pembuatan jamu tradisonal, semisal aspirin,” ungkapnya.
Mustofa menekankan bahwa hal yang saat ini perlu dilakukan adalah memikirkan upaya untuk meningkatkan kedudukan jamu sebagai obat tradisional budaya Indonesia. Ia menerangkan bahwa pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 381/Menkes/SK/III/2007 telah menetapkan Kebijakan Obat Tradisional Nasional (Kontranas).
“Kontranas ini tak lain adalah sebuah upaya menyeluruh dari pemerintah untuk menjadikan obat tradisional sebagai komoditas unggul yang bermanfaat langsung bagi rakyat Indonesia, baik dari segi kesehatan maupun ekonomi,” sebutnya.
Lebih lanjut, Mustofa mengungkapkan bahwa pada tahun 2010, Menkes juga secara spesifik sudah merumuskan Saintifikasi Jamu. Hal ini bertujuan untuk membuat jamu tradisional diakui oleh dunia pengobatan sebagai alternatif metode pelayanan kesehatan formal. “Visi Komite Saintifikasi Jamu ini adalah menjadikan jamu sebagai brand Indonesia dan membuatnya sebagai sistem tradisional Indonesia yang terintegrasi dalam sistem pelayanan kesehatan formal di Indonesia,” pungkasnya.
Terakhir, Dr. Djoko Santosa M.Si., menyebutkan bahwa jamu yang berkualitas adalah yang mengikuti filosofi Aman-Berkualitas-Berkhasiat. “Aman dapat dilihat dalam pemilihan bahannya, apakah sudah benar secara taksonomi dan sehat secara fisiologis, sudahkah cukup umur panen, serta apakah sudah tepat bagian tumbuhan yang dipilih. Lalu, berkualitas dapat dilihat dari cara perawatan tanamannya dan proses pengolahannya. Jika keduanya sudah terpenuhi maka khasiatnya tidak perlu diragukan lagi,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)