
Kawasan Asia Pasifik (termasuk Asia Tenggara) merupakan salah satu kawasan dengan pertumbuhan pariwisata tercepat di dunia. Baik untuk pariwisata internasional maupun domestik, pertumbuhan pariwisata kawasan ini mencapai 6% (di atas rata-rata dunia 4%) dengan total kunjungan 323 juta wisatawan di tahun 2017 atau seperempat dari total perjalanan wisatawan dunia. Pertumbuhan pariwisata di kawasan ini turut mengubah secara mendasar lanskap pariwisata global dan berkontribusi kepada pembentukan model- model baru pengembangan pariwisata.
Negara di Kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan memiliki potensi destinasi alam yang sangat luas dan bervariasi. Destinasi pariwisata alam bahari merupakan salah satu kekuatan kepariwisataan negara-negara di kawasan Asia Pasifik untuk menarik kunjungan wisatawan internasional.
Namun demikian, disamping potensi kepariwisataan yang besar, kawasan ini juga merupakan kawasan rawan bencana karena berada di jalur Ring of Fire – Circum Pacific belt dan patahan sesar Eurasia dan Indo-australia (aktifitas tektonik/ gempa – tsunami, aktifitas vulkanik/ erupsi gunung api). Hal itu belum termasuk potensi kebencanaan lainnya, seperti cyclone dan gelombang pasang tinggi.
Dengan kondisi semacam itu maka pengembangan kepariwisataan di kawasan tersebut memerlukan strategi untuk membangun ketahanan (resilience) dari seluruh destinasi pariwisata. Hal itu agar negara memiliki kesiapan dan ketahanan dan proses recovery yang cepat. Dengan demikian, kegiatan pariwisata sebagai pilar utama perekonomian negara dan daerah akan cepat pulih, dan dapat tumbuh berkelanjutan.
Kebijakan dan rencana strategis pengembangan dan pengelolaan destinasi pariwisata yang tanggap bencana menjadi kebutuhan mendesak dan harus diimplementasikan di berbagai wilayah/ kawasan pariwisata. Hal itu mencakup di dalamnya aspek tata ruang, bangunan dan tata lingkungan, infrastruktur/ prasarana wilayah, penguatan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat.
Atas dasar permasalahan ini, UGM bekerja sama dengan University of Kent, Inggris menyelenggarakan International Workshop On Resilience and Coastal Tourism in Southeast Asia (RESCOAST-19). Kegiatan yang diselenggarakan pada pada 25-27 April 2019 lalu di University Club (UC) UGM ini diikuti 36 peserta dari kalangan akademisi dan praktisi/ expert/ policy makers.
Dari 36 peserta itu, 13 diantaranya merupakan pakar ketahanan dalam pengembangan kawasan wisata pantai terhadap kebencanaan dari luar negeri. Mereka berasal dari negara-negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand, serta Vietnam, Inggris serta Spanyol.
Workshop ini bertujuan menggali berbagai pemikiran dan model solusi serta guidelines dalam mengembangkan kebertahanan (resilience) destinasi pariwisata pantai terhadap potensi kebencanaan. Hal itu untuk mendukung pengembangan dan pengelolaan destinasi pariwisata yang berkelanjutan di Indonesia dan kawasan Asia Pasifik lainnya.
Prof. Ir. Wiendu Nuryati, M.Arc., Ph.D., Guru Besar Teknik Arsitektur UGM, menyatakan bahwa diskusi selama tiga hari tersebut berjalan produktif. Ia menerangkan bahwa hasilnya, selain untuk rekomendasi kebijakan kepada pemerintah, juga akan dijadikan bahan untuk konferensi lanjutan di Inggris. “Mengenai waktu konferensi belum ditentukan,” jelasnya.
Wiendu menerangkan dari workshop ini juga diputuskan bahwa UGM akan menjadi vocal point dalam hal ketahanan pariwisata terhadap bencana di Indonesia. “UGM akan membuat jaringan yang menghubungkan para experts tadi dengan berbagai pegiat industri pariwisata dan pemerintah di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Drs. Bambang Sunaryo, SU., M.Sc., Dosen Manajemen Kebijakan Publik FISIPOL UGM, menyatakan antusiasmenya. Menurutnya, hasil dari workshop ini akan menjadi langkah awal untuk Indonesia dalam penguatan ketahanan pariwisata. Hal itu karena ia melihat dalam momen tersebut hadir dan duduk bersama, antara lain pelaku industri, akademisi, praktisi, serta pembuat kebijakan, untuk berkolaborasi merumuskan sebuah solusi.
“Kita semua sadar bahwa kondisi Indonesia rawan bencana, tetapi sejauh ini belum ada masterplan untuk menanggulanginya. Bahkan, masih banyak yang mementingkan ego sektoralnya. Sudah saatnya kita harus mulai sadar untuk merumuskan kebijakan yang tepat sebagai solusi pencegahan. Hal itu terutama karena sektor pariwisata pada masa mendatang akan menjadi yang paling strategis bagi Indonesia. Maka sudah wajar jika saat ini kita harus memulai berbenah,” tegasnya.
Indra Ni Tua, ST., M.Comm., Asisten Deputi Pengembangan Infrastruktur dan Eksosistem Pariwisata Kementrian Pariwisata RI, yang menghadiri penutupan acara pada Sabtu (27/4) siang, menyambut baik rekomendasi hasil workshop tersebut. Ia menyatakan kesiapannya untuk bekerja sama meningkatkan ketahanan wisata terhadap bencana di Indonesia.
“Melalui UGM, kami akan menerima masukan-masukan lanjutan untuk pembuatan kebijakan berbasis mitigasi pariwisata pesisir dari bahaya bencana. Kami selalu berharap dapat membuat negara yang indah ini selalu aman bagi masyarakat,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)