
Departemen Geografi Pembangunan UGM menyelenggarakan seminar bertajuk “Perencanaan dan Implementasi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta” pada Selasa (30/4) sore lalu. Bertempat di Auditorium Merapi Fakultas Geografi UGM, acara ini merupakan bagian dari SDGs Seminar Series yang secara rutin diselenggarakan oleh departemen tersebut.
Prof. Dr. Suratman, M.Sc., selaku moderator, menyebut bahwa tema tersebut diangkat karena masih dalam suasana Hari Kartini 21 April lalu. Momen ini juga sekaligus bertepatan dengan hari jadi Srikandi Sungai Indonesia UGM yang ketiga. “Dan tentunya tema tersebut juga sesuai dengan salah satu goals dari SDGs,” ungkapnya.
Pembicara yang hadir sore itu, dr. R.A. Arida Oetami, M.Kes., menerangkan bahwa jumlah penduduk DIY lebih banyak perempuan dibanding laki-lakinya. Selain itu, ia memaparkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY cenderung tinggi. Hal yang ia khawatirkan adalah 45 % dari kasus tersebut pelakunya ada di dalam rumah. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh hilangnya fungsi keluarga.
“Penelitian kami pada 2018 mengenai Ketahanan Keluarga di DIY mendapati 5.857 kasus perceraian, 312 kasus dispensasi nikah (pernikahan di bawah usia nikah), dan 914 kasus kekerasan dalam rumah tangga (kdrt),” ungkap Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk DIY ini.
Lebih lanjut, Arida menyebutkan bahwa kekerasan juga terjadi karena penyalahgunaan media sosial (medsos). Ia menjelaskan bahwa penggunaan medsos ini memudahkan praktik prostitusi berbasis daring.
Di sisi lain, Arida memaparkan jumlah penduduk perempuan yang memiliki kesempatan untuk bersekolah di DIY lebih rendah dibanding laki-laki. Angka keterwakilan dalam DPRD juga hanya 16,42 %. Hal Ini masih kurang jika melihat aturan kuota 30% perempuan di parlemen. “Bisa dibilang posisi perempuan di DIY masih minor,” ujarnya.
Oleh karena itu, Arida menyatakan bahwa pemerintah DIY kini tengah menggencarkan strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). PUG yang dimaksud Arida merupakan strategi untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral. Hal itu melingkupi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. “Strategi inilah yang kini tengah digencarkan oleh pemerintah DIY,” tuturnya.
Beberapa program tersebut antara lain pembentukan Desa Prima Sejahtera Baru; peningkatan perempuan pengambil keputusan di ranah publik; percepatan penurunan prevalensi pada perempuan dan anak; peningkatan level capaian KLA (Kota Layak Anak) di DIY; peningkatan kualitas pelayanan dan penanganan korban; penyusunan kebijakan daerah dalam upaya pengendalian penduduk pada usia kawin perempuan; pembentukan sistem konseling keluarga; serta pengembangan model kelembagaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga.
Arida kemudian menjelaskan bahwa PUG ini memiliki tujuh prasyarat, yakni kebijakan, komitmen, kelembagaan, SDM/anggaran, data pilah, alat analisis, dan peran serta masyarakat. Sementara sasaran aksi afirmatifnya adalah perempuan, anak, penyandang disabilitas, lansia, dan kelompok tidak mampu. “Untuk memulihkan kesejahteraan dari sasaran tersebut, integrasi dari ketujuh prasyarat tersebut mutlak diperlukan,” tegasnya. (Humas UGM/Hakam)