
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) RI, Letjen TNI Doni Monardo, mengatakan pembangunan infrastruktur dan kawasan pemukiman perlu mempertimbangkan risiko dan dampak kebencanaan yang bisa ditimbulkan di kemudian hari. Sebab, apabila sudah terkena bencana, biaya yang dikeluarkan untuk tahap rekonstruksi dan rehabilitasi tidaklah sedikit. Oleh karena itu, ia mengharapkan pemerintah pusat dan daerah untuk mempertimbangkan risiko kebencanaan dan melibatkan tim pakar kebencanaan dalam menyusun rancangan pembangunan. “Saatnya pembangunan selalu berorientasi pada kebencanaan dan menerima masukan dari pakar sehingga peneliti harus banyak diberi ruang,” kata Doni Monardo saat menyampaikan kuliah umum di Fakultas Teknik UGM, Kamis (2/5).
Dalam kuliah umum yang bertajuk “Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita”, Doni menuturkan selama empat bulan ia menjabat kepala BPNB ia menemukan banyak sektor kebencanaan yang harus dibenahi di tengah perubahan fenomena bencana alam dan perubahan iklim. Ia menyebutkan bencana alam puting beliung dan banjir serta longsor termasuk tipe bencana yang paling banyak melanda wilayah Indonesia. ”Tahun 2019 ini, kejadian puting beliung naik signifikan, ada 628 kejadian, lalu banjir 446 kejadian dan longsor 434 dan karhutla 56, kenapa ini terjadi? Akibat ada perubahan iklim dan intensitas hujan tinggi akhir akhir ini,” katanya.
Menurutnya, sudah saatnya para kepala daerah bersama aparatur memberikan perlindungan bagi masyarakat melalui mitigasi bencana untuk mengurangi risiko bencana tersebut. Ia beranggapan pelayanan publik yang paling baik bukanlah soal pelayanan administrasi semata, namun berusaha melindungi nyawa manusia dari dampak bencana. Menurutnya, peristiwa bencana alam akan terjadi dan selalu berulang. ”Pelayanan publik terbesar adalah menyelamatkan ribuan nyawa manusia, jangan sampai kita membiarkan banyaknya korban jatuh, peristiwa alam itu akan selalu berulang, namun kapan waktunya kita tidak ada yang tahu,” ujarnya.
Soal penambahan alat sistem peringatan dini tsunami yang akan dipasang pemerintah, ia berpendapat bahwa pemasangan alat tersebut akan menjadi sia-sia apabila tidak disertai penjagaan dan perawatan. “Selama ini kita punya ada 26 buoy, namun saat dipakai dan dibutuhkan justru tidak berfungsi,” katanya.
Menurutnya, sistem peringatan dini tsunami kedepan perlu penjagaan yang melibatkan aparat keamanan seperti halnya penjagaan alat strategis nasional.
Selain teknologi, imbuhnya, kearifan lokal masyarakat juga perlu diadopsi untuk mengurangi risiko bencana dengan memanfaatkan vegetasi untuk mereduksi dampak tsunami, salah satu yang akan ia lakukan menanam banyak pohon di sekitar bandara baru DIY. “Kita buat vegetasi dengan tanaman tertentu sebagai sebuah solusi, saya akan kirim pohon yang umurnya bisa sampai ratusan tahun seperti pohon pule dan pohon palaka dari Maluku,” katanya.
Deputi Bidang Geofisika BMKG RI, Dr. Ir. Muhamad Sadly, M.Eng., mengatakan tantangan terbesar BMKG dalam memberikan sistem informasi peringatan dini bencana adalah melakukan inovasi teknologi untuk meningkatkan kemampuan sistem peringatan dini dalam deteksi bencana. “Kita ingin melakukan lompatan inovasi agar jadi cepat, tepat, akurat, luas jangkauan, atraktif dan mudah dimengerti,” katanya.
Ia menyebutkan fenomena anomali kegempaan di wilayah Indonesia semakin meningkat frekuensinya sehingga perlu diminimalkan dampak risiko gempa bumi dan tsunami. “Tahun 2013 ada 4234 frekuensi gempa dan 2018 ada 11.920 frekuensi jumlah gempa,” katanya.
Terkait meningkatnya jumlah frekuensi gempa tersebut, pihaknya berencana memasang lebih banyak sistem peringatan dini tsunami dan sensor seismik gempa. “Untuk alat monitoring sistem informasi gempa bumi dan tsunami ini kita dapat alokasi anggaran sekitar 1 triliun untuk masa tiga tahun,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)