Keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia masih rendah. Bahkan, terdapat kecenderungan penurunan sejak tahun 2004 silam.
“Ada tren penurunan perwakilan perempuan di parlemen nasional sejak tahun 2004,” kata Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM, Dr. Amalinda Savirani, dalam seminar Perempuan Dalam Pusaran Pemilu: Antara Politik Identitas dan Politik Uang di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Kamis (16/5).
Dalam data perolehan kursi perwakilan perempuan pada pemilu 1999 tercatat sebanyak 44 orang di DPR RI. Selanjutnya, ada kenaikan di tahun 2004 sebanyak 65 orang dan tahun 2009 sebanyak 100 orang. Namun, angka tersebut menurun pada pemilu 2014 menjadi 97 orang.
“Penyebabnya karena faktor institusional dan non-institusional,” terangnya.
Penyebab institusional, disebutkan Amalinda, karena pola pemilihan yang bersifat kompetitif sesama caleg. Hanya yang punya sumber daya kuat yang bisa menang.
Sementara penyebab non-institusional salah satunya karena penguatan politik populisme. Selain itu, juga ideologi populisme Islam yang konservatif dan fragmentasi konten kebijakan sekular vs konservatif.
Lebih lanjut Amalinda menjelaskan ada tiga jalur politik perwakilan perempuan parlemen di Asia, yakni jalur elite, grassroot, dan tengah. Perempuan yang masuk dari jalur elite relatif lebih mudah berkompetisi dalam pemilu dibandingkan dengan perempuan dari jalur grassroot. Perempuan dari jalur grassroot menghadapi sejumlah tantangan, seperti politik identitas, seterotiping, dan pembelian suara serta perilaku pragmatis. Ditambah dengan sistem kompetisi yang bersifat terbuka dan oligarki dalam parpol menjadikan mereka semakin sulit untuk berkompetisi dalam pemilu.
“Perempuan susah untuk berkompetisi dengan sistem terbuka. Karenanya menjadi PR bagi pemerintah bagaimana mendorong perempuan berkompetisi dalam sistem terbuka, ini harus dipikirkan lagi,” paparnya.
Menurutnya, peluang perempuan merebut kursi perwakilan dalam parlemen tidak hanya sebatas jumlah kursi. Namun, harus berbasis pada konten kebijakan yang dapat melindungi kelompok perempuan.
“Orientasi pada kebijakan berbasis pada ideologi nilai universal liberal vs partikular,”tuturnya.
Sementara Inisiator Desa Anti Politik Uang Desa Sardonoharjo Ngaglik-Sleman, Wasingatu Zakiyah, dalam kesempatan itu memaparkan tentang pengalaman mendampingi caleg perempuan. Dia mengungkapkan bahwa ruang sosial perempuan sangat banyak, tetapi tidak mampu menjadi penopang dalam meraup suara secara elektoral. Awal perempuan mengenalkan diri sebagai calon legislatif juga dinilai sangat terlambat.
“Ruang yang telah dibangun tidak memiliki kemampuan untuk menyokong suara,” terangnya.
Beberapa perempuan memiliki artikulasi lemah untuk memahami program pembangunan secara umum. Konsep patron-klien lebih dominan dalam upaya mengenalkan diri ke publik.
Tidak hanya itu, Wasingatu mengatakan bahwa perempuan yang telah memiliki modal sosial tinggi ternyata belum tentu lolos karena keyakinan kelompok untuk menopang calon perempuan menjadi model elektoral tidak dimiliki oleh kelompok. Sementara itu, di ruang domestik, perempuan seringkali belum selesai dengan posisinya dan belum mampu berbagi dengan pasangannya. (Humas UGM/Ika)