Aksi massa yang berakhir rusuh pada 21-22 Mei lalu menimbulkan keprihatinan di kalangan dosen UGM. Menyikapi kondisi tersebut, para dosen UGM mengirim pesan damai dan menyerukan agar para elite politik dan seluruh elemen bangsa untuk mempertahankan kesatuan dan persatuan bangsa. “Kami para dosen UGM menyerukan kepada para pihak, baik para elite politik dan elemen masyarakat, untuk kembali mengedepankan amanat Proklamasi 17 Agustus 1945. Marilah kembali ke nilai-nilai kejujuran, integritas dan tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan,” kata Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., saat menyampaikan deklarasi pesan persatuan dan perdamaian di Balairung, Gedung Pusat UGM, Jumat (24/5).
Dalam pembacaan pesan perdamaian ini, Rektor didampingi Ketua Dewan Guru Besar, Prof. Drs. Koentjoro, MBsc.,Ph.D, Dekan Fakultas Hukum, Prof. Dr. Sigit Riyanto, Guru Besar Fisipol UGM, Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, ekonom UGM, Dr. Rimawan Pradiptyo dan Dr. Fahmi Radhi.
Dalam pembacaan pesan perdamaian tersebut, Rektor mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menanggalkan sebutan yang kurang patut kepada pihak yang memiliki aspirasi dan preferensi politik yang berbeda. Selanjutnya, meninggalkan penyebaran berita bohong dan saling mendiskreditkan antar anak bangsa. “Marilah kembali kita bersatu, menjunjung persatuan dan kesatuan serta menjunjung integritas untuk bersama-sama membangun Indonesia,” ujarnya.
Dekan Fakultas Hukum, Prof. Sigit Riyanto, mengatakan beberapa proses tahapan penyelenggaraan pemilu sudah selesai dengan penetapan pemenang pilpres dan pileg oleh KPU berdasarkan perhitungan perolehan suara terbanyak untuk mendapat legitimasi dan mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan lima tahun ke depan. Namun begitu, pasca pengumuman, menurut Sigit, ada aksi massa yang berakhir rusuh sehingga ia prihatin atas kondisi tersebut. “Saya kira ada upaya untuk mengganggu ketertiban dan upaya melakukan pelanggaran hukum yang sangat meresahkan,” katanya.
Selain itu, ia mengimbau semua pihak yang terlibat dalam konstestasi politik untuk menuruti semua koridor hukum, menjauhkan sikap anarki dan menjauhkan upaya untuk menghalalkan segala cara demi untuk menjaga keutuhan, kerukunan dan ketenteraman masyarakat. “Kembali pada jati diri bangsa dan berpihak pada kepentingan bangsa,” katanya
Mohtar Mas’oed mengatakan perbedaan pilihan politik dan identitas dalam berpolitik merupakan hal yang wajar, namun sebaiknya elite politik tidak menjadikan perbedaan identitas tersebut untuk memobilisasi massa apalagi menjurus sikap agresif dan anarkis. “Pelajaran kita ke depan, mobilisasi mesti dikurangi dan dihilangkan, meski identitas tidak bisa dihilangkan, namun jangan dimobilisasi,” ujarnya
Ketua DGB UGM sekaligus psikolog, Prof. Drs. Koentjoro, MBsc., menilai kerusuhan yang terjadi pada aksi massa di ibu kota dan di beberapa daerah disebabkan akibat dampak penyebaran berita bohong di media sosial. “Informasi beredar dengan cepat kadang memunculkan pemahaman yang salah, diserap dan dimaknai secara berbeda,” katanya.
Sementara pengamat ekonomi kerakyatan UGM, Dr. Fahmi Radhi, mengusulkan agar tidak terjadi polarisasi selama pemilu, pemerintah dan DPR perlu mengevaluasi UU pemilu. “Karena dari UU ini muncul hanya dua pasang calon menyebabkan polarisasi yang terjadi dalam waktu lama,” katanya
Rimawan Pradiptyo, salah satu dosen penggagas pesan damai, mengatakan pesan damai yang disampaikan oleh para dosen UGM ini sebagai bentuk keprihatinan para akademisi dalam menyikapi situasi terkini pasca pengumuman pemenang pemilu oleh KPU.
“Pernyataan ini dibuat dari hasil diskusi 180 orang dosen di grup daring selama kurang dari 48 jam, hal ini menunjukkan besarnya atensi dosen terhadap situasi aksi massa kemarin dan berharap pemerintah dan aparat untuk segera menetralkan situasi,” katanya. (Humas UGM/Grehenson; Foto:Firsto)