Fakultas Filsafat kembali menggelar Studium Generale yang kedua untuk semester ini bagi Mahasiswa peserta Mata Kuliah Wajib Umum (MKWU) pada Sabtu (25/5) lalu di GSP. Tema yang diangkat pada kuliah kali ini masih sama seperti sebelumnya, yakni “Pencegahan Radikalisme dan Penguatan Identitas Bangsa di Perguruan Tinggi”.
Studium Generale dihadiri kurang lebih 2.300 mahasiswa dari lima fakultas di UGM, yakni Fakultas Teknik, MIPA, Biologi, FTP, dan Farmasi. Narasumber yang diundang juga seperti sebelumnya, yakni Machmudi Hariono (Yayasan Prasasti Perdamaian) dan Chusnul Chotimah (Yayasan Keluarga Penyintas). Perbedaan narasumber dengan pelaksanaan sebelumnya hanya pada posisi Brigjen. Pol. Ir. Hamli, M.E (Direktur Pencegahan BNPT) digantikan oleh Dr. H.C. Ary Ginanjar Agustian (ESQ Leadership Centre).
Pada kesempatan kali ini, Dr. Arqom Kuswanjono, selaku Dekan Fakultas Filsafat, kembali mengingatkan akan semakin meningkatnya radikalisme di Indonesia saat ini. Paham tersebut utamanya disebarkan melalui jaringan di kampus-kampus Indonesia.
“Penelitian LIPI menunjukan bahwa penganut paham radikalisme di lima kampus besar Indonesia semakin meningkat. Mereka menyebut Pancasila sudah tidak lagi relevan, dan berniat mengubah bentuk negara menjadi khilafah,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, menurut Arqom, penyelenggaraan Studium Generale ini penting. Hal itu utamanya untuk menekankan kembali pentingnya persatuan bangsa mengingat situasi negara yang saat ini terpecah belah. “Saya harap kuliah kali ini dapat menggugah kita semua untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” terangnya.
Hal itu disetujui oleh Prof. Dr. Ir. Panut Mulyono, D.Eng., M.Eng., Rektor UGM, yang hadir untuk membuka acara pagi itu. Menurutnya, penting untuk mengajak para penganut paham radikalisme untuk kembali ke khitah bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pancasila. “Jika sesuai Pancasila, masyarakat Indonesia harusnya menjunjung tinggi perdamaian, santun, berketuhanan, dan cinta persatuan,” tegasnya.
Panut menyarankan agar seluruh masyarakat semakin menyadari dan menguatkan identitasnya sebagai warga Negara Indonesia sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila tersebut. Utamanya, ia menyebut persatuan menjadi nilai yang paling rawan sebagai efek dari pelaksanaan Pemilu lalu. “Bangsa ini menjadi seolah terbelah dua,” keluhnya.
Untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa lain, Panut menyebut bangsa Indonesia harus menyatu kembali. “Agenda-agenda nasional, seperti penguatan SDM, industrialisasi, dan lain sebagainya tidak akan bisa terlaksana tanpa adanya persatuan,” pungkasnya mengingatkan.
Dalam acara pagi itu juga dilaksanakan perjanjian kerja sama antara Fakultas Filsafat dan ESQ Leadership Centre. Penandatanganan dokumen perjanjian dilakukan oleh Arqom, selaku perwakilan dari Fakultas Filsafat, dan Ary Ginanjar, selaku perwakilan dari ESQ Leadership Centre, yang disaksikan oleh Panut, selaku Rektor UGM.
Kerja sama ini bertujuan untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia Indonesia yang berkualitas melalui pendidikan, pelatihan, serta pengabdian kepada masyarakat oleh kedua pihak tadi. Nantinya, SDM hasil dari program ini akan memiliki kualitas untuk membawa kemajuan bangsa dan negara Indonesia. (Humas UGM/Hakam)