Masyarakat Desa Cigugur Kuningan sangat terkenal akan budaya toleransi serta pluralitasnya. Meskipun memiliki keberagaman keyakinan dan kepercayaan, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Sunda Wiwitan, namun masyarakatnya dapat tetap hidup secara berdampingan dan rukun.
”Walaupun hidup dalam berbagai perbedaan, masyarakat Desa Cigugur tetap menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang mengajarkan toleransi yaitu Pikukuh Tilu,” ungkap Bennartho Denys Rapoho, mahasiswa Fakultas Filsafat UGM yang meneliti kehidupan masyarakat Cigugur.
Denys bersama dengan rekan sefakultasnya yakni Ridwan Cahyo Nugroho dan Aldi Dwi Ardyansah yang tergabung dalam kelompok penelitian Program Kreativitas Mahasiswa bidang Sosial Humaniora (PKM-PSH) UGM mulai melakukan riset terkait Adat Pikukuh Tilu Desa Cigugur Kuningan Sebagai Filosofi Masyarakat Sadar Multikultur pada pertengahan bulan Mei 2019 lalu.
Denys menjelaskan Pikukuh Tilu merupakan pedoman hidup bagi manusia terkait dengan kehidupan yang baik melalui hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam. Adat Pikukuh Tilu sebagai pedoman masyarakat kepercayaan Sunda Wiwitan Cigugur mengajarkan mengenai filosofi kehidupan manusia yang penuh dengan harmoni dan keselarasan.
Ajaran tersebut, kata dia, memandang realitas melalui hakikat. Manusia dan alam dimaknai sebagai suatu kesatuan dari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sehingga perlu dalam menjaga harmoni diantaranya. Hubungan antar manusia juga dimaknai melalui hakikat manusia secara utuh yaitu sifat kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat Sunda Wiwitan Cigugur sebagai wujud kesejatian manusia.
Pikukuh Tilu memiliki tiga pedoman ajaran pokok diantaranya, yaitu ngaji badan, iman kanan tanah, dan ngiblating ratu raja 3, 2, 4, 5, lilima 6. Ketiga ajaran tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
“Pikukuh Tilu sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Desa Cigugur karena telah diajarkan melalui para leluhur secara turun-temurun,”sebutnya.
Denys mengatakan melalui kegiatan momentum perayaan hari besar, upacara kematian, pernikahan, kegiatan bakti desa, dan rapat rutin masyarakat Desa Cigugur dapat menguatkan nilai toleransi dalam keseharian. Menjalin komunikasi di dalam masyarakat yang plural menjadi kunci bagi terwujudnya kehidupan yang rukun dan damai.(Humas UGM/Ika)