Seiring dengan zaman yang berubah, beberapa suku di Indonesia masih berusaha menjaga keaslian tatanan sosialnya yang telah turun temurun. Salah satunya, Suku Baduy.
Tiga mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Charistya Herandy, Aisyah Suki Pratiwi, dan Rahmalia Intan Sulistyawati meneliti kehidupan masyarakat Suku Baduy, khususnya Baduy Dalam, sebagai bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Penelitian Sosial Humaniora.
“Penelitian kami menggunakan metode observasi partisipan dan wawancara mendalam. Dalam keseharian, kami memilih wawancara dalam bungkus obrolan santai dengan masyarakat Baduy,” tutur Charistya.
Suku Baduy yang dikenal juga dengan sebutan Urang Kanekes, jelasnya, berada di bawah kaki Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Suku Baduy terdiri dari dua bagian besar, yaitu: Baduy Luar dan Baduy dalam.
Secara sederhana, perbedaan keduanya berdasarkan pada bagian “kelonggaran/kebebasan” dalam menjalani keseharian. Baduy Luar diizinkan menggunakan elektronik, sandal, transportasi, dan pakaian bebas. Baduy Dalam melarang adanya semua itu.
“Meskipun demikian, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam masih saling dan sangat menjaga setiap tradisi yang diturunkan dari nenek moyang. Salah satu tradisi yang masih ada hingga saat ini adalah Tradisi Kawalu,” imbuhnya.
Tradisi Kawalu disebut juga sebagai bulan suci bagi suku Baduy. Tradisi ini dilakukan selama tiga bulan setiap tahunnya (pada bulan Kasa, Karo, Katiga), lebih tepatnya di daerah Baduy Dalam. Kawalu diisi dengan doa-doa untuk memohon keselamatan alam dan manusia.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat suku Baduy berpuasa sehari tiap bulannya. Selama Kawalu berlangsung, turis lokal ataupun mancanegara, pejabat daerah, dan pejabat Negara tidak boleh memasuki wilayah Baduy Dalam; terdiri dari Desa Cibeo, Desa Cikawartana, dan Desa Cikeusik.
Tradisi Kawalu juga dimaksudkan sebagai upacara untuk berdoa meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Hal ini, ujarnya, menunjukkan keberadaan nilai nasionalisme di dalam Tradisi Kawalu yang dapat diangkat sebagai pendukung dari integrasi nasional.
“Hal ini dikarenakan suku Baduy Dalam terkesan “jauh”, “pedalaman”, “primitif” seakan bukan bagian dari Indonesia. Namun bukan berarti tidak dapat terintegrasi, sebaliknya, justru dalam tradisinya terdapat kecintaan dan kesetiaan pada negeri—yang juga menjadi pendukung dari integrasi di lingkup nasional,” papar Charistya.
Dalam penelitian ini, para mahasiswa berusaha menelisik lebih dalam eksistensi Tradisi Kawalu di Suku Baduy, yang menurut mereka dapat berperan sebagai pendukung integrasi di Indonesia.
“Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka pandangan baru di masyarakat umum mengenai keteguhan suku Baduy dalam menjunjung kesatuan Negara Indonesia,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)