Sudah lama Temanggung dijuluki sebagai kota tembakau. Julukan yang sangat lekat tersebut tidak lepas dari suasana hawa yang sejuk dan cenderung dingin di sana.
Sebagai salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Tengah, Temanggung kini mendapatkan julukan baru sebagai kota kopi. Julukan baru ini mulai melunturkan julukan sebagai kota tembakau, dan kopi memang lagi menjadi primadona produksi petani di daerah ini disamping produksi tembakau.
Ada dua jenis kopi yang yang berkembang dan dihasilkan di Temanggung, yaitu kopi Arabika dan Robusta. Dua jenis kopi ini merupakan potensi baru. Salah satu daerah di Kabupaten Temanggung yang menghasilkan kopi cukup besar adalah Desa Ngemplak, Kecamatan Kandangan.
“Di desa ini, kopi robusta menjadi hasil kebun yang cukup populer dan hampir semua warga desa menanam serta memproduksi kopi jenis Robusta,” ujar Thomas Wardana, mahasiswa Filsafat UGM angkatan 2017.
Menurut Thomas dengan potensi alam yang melimpah dan didukung pemandangan hamparan sawah, udara yang sejuk serta masih terjaganya lingkungan yang asri Desa Ngemplak, Kandangan sesungguhnya menyimpan potensi daya tarik wisata yang menarik. Potensi tersebut jika dimanfaatkan dan dikembangkan tentu mampu memberikan kesejahteraan dan menjadi salah satu destinasi pariwisata yang menarik di Temanggung.
“Memang petani di Desa Ngemplak sering mengeluh, di saat panen kopi tiba dan produksi melimpah harga cenderung turun. Sangat disayangkan karena pemanfaatan keberadaan kopi di daerah ini masih sederhana, dipetik, dijemur kemudian dijual, bahkan kadang hanya dijual dalam bentuk beras kopi atau biji kopi,” tuturnya, di Kampus UGM, Rabu (19/6).
Oleh karena itu, melalui Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM-M), Thomas Wardana bersama empat mahasiswa UGM lainnya, yaitu Dian Hafiizh Rachmawati, Dwi Rahmasari Fatmawati (Kimia, 2017), Tubagus Laka Atrinda Wibawa (Ilmu Keperawatan, 2017) dan Yesi Noviatun (Akuakultur, 2018), lantas mencari solusi agar kopi bisa bernilai lebih di saat panen dengan jumlah melimpah. Dengan dibimbing dosen Dr. Ngurah Weda Sahadewa, kelimanya pun menawarkan solusi alternatif yaitu pemberdayaan masyarakat melalui bidang pariwisata dengan memanfaatkan potensi alam desa yang dimiliki dan kreativitas masyarakat desa.
Salah satu kegiatan yang kemudian dilakukan adalah memanfaatkan keberadaan kopi Robusta sebagai salah satu pendukung konsep Kawasan Agrowisata di Desa Ngempak atau disebut KAROSTA. Dalam program KAROSTA maka kopi Robusta diolah menjadi berbagai produk dan diharapkan menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk menikmati hasil olahan kopi.
“Program ini dilaksanakan di salah satu dusun di Desa Ngemplak, tepatnya di Dusun Gedongan sebagai pondasi awal terbentuknya desa wisata yang berkelanjutan. Inovasi ini pada akhirnya berhasil mendapatkan dana hibah melalui Program Kreativitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKM M) DIKTI,” ucap Thomas.
Dengan program ini, kata Thomas, kebun kopi di daerah ini dapat diberdayakan menjadi industri rumahan berbahan dasar kopi sehingga ketika pasca panen dan harga kopi lagi turun, masyarakat dapat memanfaatkan kopi menjadi berbagai jenis makanan dan minuman, seperti keripik daun kopi robusta, kerupuk kopi robusta, cireng robusta, nugget kopi, thai coffe (berbahan dasar daun kopi) dan berbagai macam olahan kopi lainnya.
Selain itu, kebun kopi juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat agrowisata. Sebagai agrowisata maka banyak sudut di bangun tempat bersantai dengan pemandangan dan nuansa alam kebun kopi robusta. Selain itu, dilakukan pula tur wisata kebun kopi dengan praktik petik kopi hingga mengolah kopi siap konsumsi.
Uniknya di desa agrowisata ini diterapkan tema bebas internet (free internet) atau area yang tidak memperbolehkan penggunaan internet. Dengan cara-cara semacam ini diharapkan mendukung budaya komunikasi dan interaksi langsung manusia pada orang sekitar dan alam.
Thomas lebih lanjut menjelaskan disamping meningkatkan perekonomian melalui pengolahan kopi menjadi makanan khas dan usaha mandiri untuk masyarakat lokal setempat, agrowisata ini menambah nilai filosofis dan kearifan lokal melalui kunjungan wisata di desa tersebut. Sangat dimungkinkan desa wisata berbasis kopi ini akan terus berlanjut mengingat peminat kopi akhir-akhir ini semakin meningkat.
“Kopi memang lagi naik daun sehingga tidak menutup kemungkinan produksi kopi lokal bisa dilirik oleh wisatawan luar daerah serta dibawa keluar daerah untuk dikenal penikmat kopi lain. Di agrowisata ini nama-nama jalan pun bernuansa kopi dengan penjelasan singkatnya,” ungkapnya. (Humas UGM/ Agung)