
Berkat dedikasinya dalam melestarikan burung paruh bengkok selama kurang lebih 18 tahun, sepasang suami istri, Dwi Agustina dan Dudi Nandika berhasil mendapatkan beasiswa dari Mandai Nature. Dwi berkesempatan melanjutkan studi di jenjang master. Sedangkan Dudi melanjutkan pendidikan doktor di fakultas yang sama, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.
Dwi Agustina merupakan salah satu pendiri dari pendiri dari Perkumpulan Konservasi Kakatua Indonesia (KKI), mengaku sangat bersyukur atas kesempatan yang diberikan kepadanya ini, meskipun sejauh ini telah banyak tantangan yang sudah ia lewati. Ia pun menjelaskan bahwa lembaga yang berdiri sejak tahun 2007 ini pada awalnya merupakan bagian dari organisasi Parrot Project yang berada di Amerika. “Dari 2007 itu kami mulai di Pulau Masakambing untuk kakatua kecil jambul kuning. Jadi, ada peningkatan populasi, di mana burung kakatua kecil jambul kuning ini tadinya jumlahnya hanya 8 ekor, dan kita bekerja di Masakambing sampai 2018, jadi hampir 10 tahun, dan terakhir itu populasinya sudah naik 22 ekor,” kata Dwi, Selasa (14/10).
Setelah itu, selain dari Pulau Masakambing, Sumenep, Jawa Timur, ia beserta suaminya, Dudi Nandika, melanjutkan perjuangan mereka melakukan konservasi burung paruh bengkok ke Seram Utara, Maluku. Sedang program yang berjalan di Masakambing saat ini dilanjutkan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur.
Ia pun menjelaskan bahwa lembaga ini selain berfokus pada penelitian dan konservasi, juga melakukan rehabilitasi habitat dan ecotourism yang ditujukan untuk burung-burung berparuh bengkok yang ada di Indonesia. Dalam lembaga ini, ia bersama timnya melakukan rehabilitasi kepada satwa-satwa sitaan dari BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), terutama jenis burung paruh bengkok, dan diserahkan kepada Pusat Rehabilitasi Satwa (PRS) untuk dipulihkan dan kemudian dilepasliarkan kembali ke habitat aslinya. Dwi pun menjelaskan lebih lanjut program lain yang dilakukan oleh KKI, “Kami memiliki program bernama CAP (Conservation Awareness and Pride Program). Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan rasa bangga masyarakat terhadap burung-burung asli daerah mereka, khususnya spesies kakatua dan nuri yang menjadi ciri khas di berbagai wilayah,” ujarnya.
Alasan Dwi dan Dudi memilih UGM sebagai kampus yang dipilih untuk melanjutkan pendidikan adalah selain dari kesesuaian penelitian yang mereka pilih, karena UGM juga memiliki program by research, yang membuat mereka mampu menjalankan pekerjaan dan studinya secara bersama-sama secara sejalan. “Program by research ini sangat mempermudah bagi para praktisi untuk tetap dapat melanjutkan akademisnya tanpa meninggalkan kegiatan misi konservasinya,” kata Dwi.
Dwi bercerita bahwa penelitiannya saat ini yang didanai oleh Rufford Foundation berfokus tentang perdagangan burung dan komunikasi masyarakat lokal di Maluku, khususnya di Seram Utara. Masyarakat Huaulu, Maluku memiliki tradisi adat bernama Cidaku, semacam upacara kedewasaan yang dulunya menggunakan bulu kakatua sebagai hiasan mahkota, oleh karena itu untuk tetap menjaga kelestarian burung tersebut tanpa meninggalkan tradisi yang ada ia pun berkomunikasi dengan masyarakat setempat dan penyuluhan tentang hal tersebut. “Kebetulan kami sudah melakukan kegiatan pendekatan sama masyarakat itu dan dapat kesepakatan dengan mereka untuk mengganti bulu kakak tua asli yang dari hutan berburu dengan hasil rontokan dari pusat rehabilitasi,” ceritanya.
Ia pun berharap bahwa masyarakat dapat lebih mencintai dan bangga akan burung-burung yang ada di Indonesia, khususnya burung berparuh bengkok. Menurutnya, ketika rasa bangga itu tumbuh, mereka akan lebih peduli terhadap kesejahteraan satwa. Mulai dari menjaga makanan dan airnya, hingga memastikan kandangnya layak untuk terbang. Karena upaya rehabilitasi itu tidak mudah dan biayanya sangat besar dibandingkan dengan perdagangan burung yang justru merusak. “Harapannya burung ini bisa tetap lestari, jumlahnya juga semakin banyak, orang menyukai dan mencintai burung ini semakin banyak, tidak hanya aware, tapi juga bangga. Ketika sudah bangga, tingkatannya akan jauh lebih tinggi,” harapnya.
Seperti diketahui, Mandai Nature merupakan cabang konservasi dari Mandai Wildlife Group (MWG) dan didirikan pada Desember 2020 oleh Temasek dan MWG yang bertujuan untuk mewujudkan dunia yang berkelanjutan dimana satwa liar dan manusia dapat hidup berdampingan dalam ekosistem yang sehat. Berbasis di Singapura, Mandai Nature menerima pendanaan dan dukungan non-tunai dari MWG.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Mongabay