
Head of Asia Desk, Organization for Economic Co-operation And Development (OECD) Development Center, Kensuke Tanaka, memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam empat tahun ke depan, 2019-2023, tumbuh rata-rata di angka 5,3 persen. Pertumbuhan tersebut berada di atas negara Malaysia 4,6 persen, Thailand 3,7 persen. Sementara China dan India tumbuh di angka 5,9 persen dan 7,3 persen. Meskipun pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia dianggap paling tinggi di dunia dibanding Amerika, Afrika dan Eropa, namun masing-masing negara masih menghadapi persoalan yang sama soal defisit neraca perdagangan. “Defisit perdagangan ini dihadapi hampir semua negara baik di Asean, China dan India,” kata Kensuke Tanaka dalam seminar yang bertajuk Economic Outlook for Southeast Asia, China and India, Jumat (21/6) di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM.
Khusus Indonesia ekonomi tumbuh di atas 5 persen, namun ia menilai rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto masih terlalu rendah yakni 11,6 persen di banding negara lain, seperti Malaysia, Korea dan Jepang yang sudah di atas 15 persen, bahkan mencapai 27 persen seperti Australia. Ia mengusulkan agar rasio pajak ini terus ditingkatkan.
Meski kondisi ekonomi Indonesia dianggap cukup tangguh dan kuat, namun negara dengan petumbuhan ekonomi yang kuat juga menghadapi risiko dan tantangan soal perkembangan fintech yang begitu meluas. Menurutnya, pemerintah diharapkan membuat aturan dan pengawasan yang tegas soal pinjaman dan peningkatan modal serta perlindungan data dan keamanan siber. “Setiap negara perlu memitigasi risiko dari fintech, saya melihat banyak negara tidak melakukan itu termasuk Indonesia,” katanya.
Selain dampak dari perkembangan pemanfaatan teknologi fintech, mitigasi risiko dari dampak bencana alam menjadi faktor kunci bagi negara untuk tetap bisa mempertahankan pertumbuhan ekonominya selalu stabil dan meningkat. “Indonesia termasuk negara yang rentan akan bencana gempa bumi, erupsi gunung berapi, selain banjir dan longsor,” katanya.
Dalam kesempatan itu, ia juga sempat menyinggung perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan penggunaan internet yang tumbuh dengan cepat di kawasan Asia, China dan India dalam lima belas tahun terakhir sehingga menjadikan banyak perusahaan mengubah cara perusahaan dalam mengelola bisnisnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai berhasil memanfaatkan teknologi untuk mendorong kegiatan bisnis. “Teknologi informasi telah mengubah cara perusahaan dalam beroperasi dengan membagikan website dan penggunaan email sebagai bagian komunikasi dengan klien dan suplier untuk kegiatan ekspor dan perdagangan,” katanya.
Dosen FEB UGM, Sekar Utami Setiastuti, Ph.D., sepakat bahwa ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 5,3 persen selama 2019-2023. Faktor kekuatan ekonomi tersebut ditopang oleh belanja domestik dan pertumbuhan pasar tenaga kerja. Namun, yang perlu disoroti adalah kondisi defisit neraca perdagangan disebabkan lebih banyak kegiatan impor bahan baku minyak dan gas.
“Defisit perdagangan terjadi karena impor minyak dan gas yang terlalu besar,” katanya.
Menurutnya, pemerintah perlu mengevaluasi disparitas harga terhadap pasokan minyak bumi dan gas di dalam negeri serta mengevaluasi kebijakan subsidi energi harga bahan bakar di tingkat konsumen. Selain itu, ia juga mengusulkan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan investasi besar-besaran pada infrastruktur sehingga diketahui dampaknya bagi ekonomi secara keseluruhan. “Kita ingin menjaga kemampuan finansial negara agar selalu tetap dalam kondisi kuat,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)