
Yogyakarta International Airport (YIA) secara bertahap sudah mulai beroperasi dan diharapkan secara berangsur-angsur akan semakin banyak penerbangan dari bandara tersebut. Akan tetapi, masalah aksesibilitas masih menjadi kendala.
“Sebenarnya, yang sangat diperlukan bukanlah jalan tol, akan tetapi angkutan umum yang reliable dan murah,”papar pakar transportasi UGM, Prof. Dr.-Ing. A. Munawar, M.Sc., Senin (24/6).
Munawar mencontohkan di beberapa negara Asia, seperti bandara Narita juga jauh dari Tokyo, bandara Incheon juga jauh dari Seoul, demikian pula bandara International Hongkong juga jauh dari pusat kota. Akses dari bandara-bandara tersebut dapat ditempuh dengan bus Limousine berkualitas tinggi dengan harga relatif murah, langsung ke titik-titik pusat kota, dengan titik henti di hotel-hotel pusat kota. Kereta api juga langsung dari bandara ke pusat kota. Bahkan dari Stasiun Kowloon dapat check in sehingga penumpang dapat naik kereta api langsung ke Bandar Internasional Hongkong tanpa membawa bagasi.
Sayangnya, akses angkutan umum yang disediakan menuju YIA masih sangat kurang dibandingkan bandara-bandara Internasional di negara-negara Asia lainnya tersebut.
“Kereta api harus turun di Wojo atau Wates, kemudian berganti dengan naik bus. Bus yang disediakan oleh DAMRI hanya bus pemadu moda, point to point yang sangat terbatas titik pemberangkatan penumpangnya,”urainya.
Sebenarnya, ada alternatif lain yang dapat dikembangkan, tetapi terkendala birokrasi. Bus-bus berkualitas tinggi sebenarnya dapat disediakan oleh perusahaan-perusahaan bus swasta di DIY, dengan titik-titik henti di hotel-hotel, misalnya dari hotel-hotel daerah Monjali menuju ke YIA. Dari jalan Adisucipto – jalan Solo ke YIA dan masih banyak rute-rute potensial yang dapat dikembangkan.
Kemungkinan besar, imbuh Munawar, hotel-hotel yang menjadi titik-titik henti akan bersedia memberi dukungan finansial (subsidi) bagi beroperasinya bus-bus tersebut. Akan tetapi, hanya BUMN atau BUMD seperti DAMRI yang dapat ditunjuk untuk pengoperasian trayek tersebut. Bus swasta tidak diperkenankan.
Lain daripada itu, saat ini ada bus-bus DAMRI dengan ukuran bus besar yang beroperasi keliling ring road. Load factor (tingkat isian) bus-bus tersebut sangat kecil, hanya sekitar 20 persen. Jika trayek tersebut dipindahkan rutenya menuju YIA, dengan titik-titik henti hotel-hotel di sekitar ring road dan beberapa pusat kegiatan, tentu akan sangat bermanfaat dan load factor akan menjadi tinggi. Akan tetapi sekali lagi terkendala birokrasi, SK trayek bus DAMRI tersebut sudah ditentukan dan sulit untuk dirubah.
“Jika kendala birokrasi tersebut tidak dapat didobrak, akses ke YIA tetap buruk, sangat dikhawatirkan YIA akan bernasib sama seperti bandara Kertajati, sepi,”pungkas Munawar. (Humas UGM/Satria;foto: http://howdyindonesia.com)