Tujuh bulan lalu menjadi hari-hari terberat yang dialami Rinaldi. Di tengah mempersiapkan ujian akhir sekolah dan bermimpi untuk kuliah, ia harus rela melepas kepulangan ayahnya, Rohdiyan, ke hadirat Illahi.
Tepat di tanggal 30 Desember 2018, ayah Rinaldi meninggal dunia karena sakit. Kesedihan mendalam pun ia rasakan bersama ibunya, Laela Fitri Delli, dan kakaknya, Raftriamsyah.
“Sempat kaget, awal-awal shok tidak fokus belajar, sehari hingga dua hari. Papa pergi tanpa ada tanda-tanda, kadang melamun di sekolah, kadang sampai ditegur sama guru,” ujar Rinaldi Febrian, pria kelahiran Padang, 24 Februari 2001 yang diterima kuliah di Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik UGM melalui jalur SNMPTN.
Cerita duka yang disampaikan Rinaldi tersebut mewarnai awal perbicangan tim reporter Humas UGM saat melakukan wawancara dengannya di Jalan Sekuntum Gang Kenanga Nomor 13, Kelurahan Sialang Sakti, Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekan Baru.
Sosok Rohdiyan, ayahnya, kata Rinaldi, adalah sosok orang tua yang selalu ia rindukan. Sedemikian dekatnya hingga ia sangat merasakan kehilangan. Bersama ayahnya ia terbiasa ngobrol soal kelanjutan studinya setelah lulus SMA nantinya.
Masih melekat di ingatan, bagaimana ayahnya sangat mengkhawatirkan dan takut ketika Rinaldi suatu saat menyampaikan keinginannya kuliah di luar Pekanbaru. Pun, soal pilihan jurusan, Rinaldi meski di IPA berkeinginan melanjutkan di manajemen, sedangkan ayahnya berkehendak untuk memilih teknik karena banyak diperlukan untuk saat-saat ini.
“Kalau saya keluar dari Pekanbaru yang ditakutkan biaya, mungkin itu pikiran papa. Saya sebenarnya pingin ke manajemen setelah lulus karenanya sebagai jalan tengahnya saya akhirnya pilih teknik industri karena disitu kata orang ada ilmu manajemennya,” ucap Rinaldi.
Sebagai anak yang patuh pada orang tua, ia sangat bersedih atas kepergian ayahnya yang mendadak tanpa meninggalkan pesan apapun. Meski begitu, ia selalu teringat nasihat ayahnya selagi masih hidup untuk selalu pandai-pandai dalam mengelola uang dan jangan melupakan salat serta berdoa.
“Karena papa sendiri kalau salat selalu tepat waktu maka kalau anaknya tidak tepat waktu selalu ditegur. Apalagi kalau di rantau meninggalkan salat, papa marah pasti,” katanya.
Rinaldi mengaku hal yang menguatkan dirinya sepeninggal ayah, ia selalu mengingat keberadaan ibunya, Laela Fitri Delli. Ia selalu tanamkan dalam hati bahwa masih ada ibu sehingga menguatkan dirinya untuk terus berjuang melanjutkan hidup.
Tanpa ayah, yang dulunya bekerja sebagai distributor rokok lokal, tentu menjadikan hidupnya semakin berat. Meski begitu, ia tidak pernah mengeluh, sebab sudah terbiasa hidup sederhana.
Praktis, hidup Rinaldi sekeluarga pun lantas hanya mengandalkan penghasilan dari ibunya sebagai buruh masak dan menjahit. Meskipun dari pekerjaan tersebut tidak selalu ada di setiap harinya.
“Kata teman-teman masakan ibu enak dan saya biasa bawa 40 bakwan setiap harinya ke sekolah untuk ditaruh di belakang kelas. Siapa yang ngambil ninggalin uang 1000, kadang guru-guru juga,” ucapnya.
Rinaldi tanpa malu-malu melakukan itu demi mendapatkan uang. Namun, dari situlah banyak orang kemudian tahu olahan masakan ibunya. Rapat-rapat guru di SMA Negeri 8 Pekanbaru pun akhirnya selalu pesan snack pada ibunya.
Rinaldi merasa bersyukur diterima di Departemen Teknik Industri, Fakultas Teknik UGM karena merupakan pilihan pertamanya. Lolos dari seleksi jalur SNMPTN, ia mengaku tidak memiliki jurus khusus.
Baginya tidak menunda tugas-tugas sekolah sudah meringankan belajarnya. Dalam segala hal ia berusaha untuk tepat waktu.
“Cara mengatasi kekurangan belajar, kalau guru tidak segera masuk, saya cepat panggil guru karena saya ketua kelas biar tidak tertinggal pelajaran dengan kelas lain. Semua guru yang mengajar di kelas saya itu selalu tepat waktu. Karena dua menit sebelum bel saya sudah ke majelis guru, biar guru yang akan mengajar tidak telat, seandainya guru itupun terpaksa terlambat saya usahakan belajar sendiri,” ujarnya.
Rinaldi berusaha merampungkan semua tugas sekolah, pekerjaan rumah (PR) di sekolahan. Bahkan, saat menunggu dijemput ibunya saat pulang sekolah, ia manfaatkan belajar bersama teman-temannya.
“Biar tidak terbebani, kalau kawan-kawan itu kan biasanya hari ini PR besuk dikumpulkan, hari ini sampai jam 24.00 baru kocar-kacir, atau besok pagi di sekolah. Kalau saya maksimalkan semua dikerjakan di sekolah,” imbuh Rinaldi.
Rinaldi menuturkan semua buku pelajaran ia dapatkan dari sekolahan, sedangkan untuk buku tambahan ia mendapatkan gratis alias pemberian guru. Sedangkan untuk buku Persiapan UN dan semacamnya untuk murid-murid lain dijual.
“Alhamdullilah dikasih guru. Mereka tahu kondisi saya, teman-teman beli dengan harga yang bermacam-macam, ada yang 50 ribu, 70 ribu tergantung tebal bukunya,” tuturnya.
Meski tidak tahu sumber dana darimana, Rinaldi mantap untuk terus kuliah di UGM. Ia selalu menenangkan kekhawatiran ibunya soal biaya dan memastikan jika tidak akan merepotkan ibunya soal biaya.
“Jangan takut kalau saya ke Jogja, diusahakan tidak keluar uang mama sedikit pun. Pokoknya jangan dipikirkan biaya,” katanya.
Demikian ungkapan Rinaldi meyakinkan ibunya. Meski seiring itu ia terus berdoa dan berharap agar beasiswa yang ia ajukan dikabulkan. (Humas UGM/ Agung)