
Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM melakukan penelitian mengenai pola pemberitaan kontemporer, khususnya dalam akun instagram Lambe Turah sebagai salah satu influencer di media sosial dengan enam juta lebih pengikut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya strategis untuk memilah dan memilih informasi dalam menghadapi era keterlimpahan informasi dan kecepatan media komunikasi saat ini.
Salah satu perhatian dalam penelitian Aisyah Abbas, Rofi’, dan Fatimatuz Zahra ini adalah peran regulasi sebagai representasi otoritas pemerintah dalam mengatur arus informasi yang serba cepat dan dinamis saat ini. Hal itu sebagai pengejawantahan kebebasan berpendapat, namun juga tidak meninggalkan tanggung jawab di dalamnya. Untuk memperoleh data tersebut, Aisyah beserta timnya mewawancarai Ferdinandus Setu selaku plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo sekaligus salah satu tim perumus UUITE di kantor Kemenkominfo.
Pria yang akrab disapa Ferdi ini menjelaskan bahwa munculnya social media influencer merupakan konsekuensi logis dari undang-undang yang menjamin kebebasan berpendapat. Asalkan tidak melanggar UUITE yang membatasi interaksi masyarakat di sosial media. Pembatasan tersebut meliputi konten-konten yang berkaitan dengan ancaman kekerasan, diskrimanasi terhadap SARA, ujaran kebencian, penipuan dan hal lain. Hal itu seperti yang telah dijelaskan dalam undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik.
“Silakan berkomunikasi di saluran manapun, tetapi tetap dengan batasan nggak boleh ngomongin jorok, porno, judi, menghina, dan lain sebagainya sesuai dengan UUITE tadi. Di era digital seperti saat ini semua bertansformasi, mulai dari media massa sampai pemerintah sekalipun,” ujarnya ketika ditanya mengenai perkembangan informasi dengan platform digital.
Poin penting yang juga Ferdi sampaikan ialah terkait anonimitas yang telah menjadi bagian dari era digital. Ia menyatakan bahwa orang akan cenderung nyaman menyampaikan informasi tanpa diketahui dengan jelas siapa identitasnya. Seperti yang dilakukan oleh Lambe Turah misalnya, ia mengabarkan informasi secara anonim dan akhirnya disukai oleh banyak orang dengan ciri khas yang demikian.
Meski demikian, segala sesuatu yang dilakukan harus bertanggung jawab karena ketika telah melanggar, anonimitas sebuah akun bisa ditelusuri dengan sistem digital forensik yang dimiliki oleh Kominfo serta kepolisian. “Tentu saja ekspresi tadi maupun anonim sekalipun kamu tetap dibatasi dengan pasal 27, 28, 29 UUITE,” tegasnya.
Ferdi menyatakan penggunaan UUITE tidak ingin membatasi kebebasan dalam terekspresi. Namun, hal itu lebih sebagai pengejawantahan peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pengggunaan platform digital supaya tidak kacau “Ibarat kita keluarga besar, ada anak yang bandel ya kita disiplinkan. Namun, kalau mereka saling caci maki kemudian tidak ada hukumnya ya kacau,” tuturnya.
Kendati demikian, Ferdi percaya bahwa masyarakat akan berproses setiap saat, sehingga kekayaan informasi yang terhampar dalam era digital saat ini dapat terpilah sesuai kebutuhan.“Pada akhirnya, kita sebagai warganetlah yang menentukan sendiri (bagaimana) bersikap atas informasi yang disajikan, siapaun yang menyajikan,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)