Wirausaha sosial atau lebih dikenal sociopreneur dinilai berperan penting dalam mendorong pengentasan kemiskinan serta berkontribusi tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Sebab, pendekatan yang digunakan oleh para wirausaha sosial ini dianggap praktis, inovatif dan berkelanjutan dalam melakukan penguatan sosial dengan menyasar kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan miskin.
Peneliti Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Arizona State University, Amerika Serikat, Prof. James Wiliams Herbert, mengatakan sudah banyak socioprenuer dunia yang telah berhasil berkontribusi bagi pencapaian SDGs. Ia mencontohkan yang dilakukan oleh Muhammad Yunus melalui Grameen Bank yang didirikannya untuk memberikan pinjaman kredit mikro kepada masyarakat membutuhkan pinjaman untuk mengembangkan usahanya. Lalu, ada Blake Mycoskie melalui TOMS sebuah bisnis yang menyumbangkan sepasang sepatu kepada yang membutuhkan untuk setiap pasang sepatu yang dibeli oleh konsumen. Ia juga mencontohkan Scoot Harrison melalui Charity:Water, memberikan bantuan air minum bersih kepada lebih dari satu juta orang di 17 negara di belahan dunia.
Menurutnya, aktivitas socioprenuer ini juga berhasil melakukan transformasi sosial di dalam berbagai bidang seperti di pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan pengembangan usaha. “Aktivitas ini mengatasi praktik-praktik pengentasan masalah sosial yang tradisional karena telah melintasi batasan disiplin praktik yang kaku,” kata Herbert saat menjadi pembicara kunci di hari kedua dalam rangkaian konferensi ke-21 Biennieal Internasional. Acara ini merupakan pertemuan ahli pembangunan sosial yang diadakan oleh Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraa, Fisipol UGM bekerja sama dengan International Conference for Social Development, Arizona State University, Singapore University of Social Science dan Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia, di Ruang Auditorium Fisipol UGM, Rabu (17/7).
Herbert menjelaskan diperlukannya peran Socioprenuer dalam mendorong pencapaian SDGs dikarenakan masih adanya persoalan kemiskinan ekstrem yang melanda berbagai negara berkembang serta belum adanya jaminan dan perlindungan sosial yang optimal bagi penduduk terutama di Asia dan Afrika. “Jaminan keadilan sosial ini agar mereka bebas dari rasa takut dan rasa tidak aman akibat adanya represi politik, persekusi dan deprivatisasi ekonomi,” katanya.
Persoalan kemiskinan dan perlindungan sosial ini, menurut Herbert, menjadi alasan penting untuk menguatkan komitmen banyak negara untuk melaksanakan program tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang sebelumnya sudah didahului oleh Millenium Development Goals (MDGs). “Untuk memastikan keberlanjutan dari komitmen tersebut maka perlu memperhatikan empat aspek ekonomi, ekologi, politik, dan budaya,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)