Hutan Bakau Torosiaje di Gorontalo memiliki beragam potensi bakteri tanah aktinomisetes penghasil antibiotik.
“Dari penelitian menggunakan pendekatan molekular, berhasil ditemukan aktinomisetes penghasil antibiotik dari rizosfer tujuh jenis pohon bakau,” ungkap Yuliana Retnowati, mahasiswi program doktoral Fakultas Biologi UGM, Senin (22/7) di kampus setempat.
Dalam kegiatan diseminasi hasil penelitian program doktor tersebut Yuliana menjelaskan aktinomisetes penghasil antibotik berhasil diidentifikasi berdasarkan pendekatan molekular sebagai anggota genus Streptomyces, Saccharomonospra, Nocardiopsis dan Mycolatopsis. Dua isolat unggul anggota genus Streptomyces, yaitu Streptomyces qinglanensis strain BUFA-2, dan Streptomyces sanyensis strain BMFB-9 menghasilkan antibiotik dengan aktivitas antibakteri dan antifungi melawan mikroba patogen Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Aspergillus niger, dan Candida albicans.
“Antibiotik yang dihasilkan merupakan golongan Beta-laktam, Aminoglikosida, dan Poliketida aromatik,” tutur dosen Universitas Negeri Gorontal ini.
Yuliana menyebutkan hasil penelitian tersebut nantinya dapat dimanfaatkan sebagai dasar kebijakan pemerintah provinsi Gorontalo, khususnya kabupaten Pohuwato dalam upaya pelestarian hutan bakau. Sebab, dalam hutan bakau terdapat sumber daya alam yang berpotensi untuk dikembangkan di bidang industri obat-obatan.
Selain Yuliana, dalam kegiatan itu juga dipaparkan hasil penelitian Ratna Stia Dewi terkait fungsi limbah industri batik sebagai agensia biodegradasi limbah cair pewarna batik indigosol blue 04B. Hasilnya menunjukkan bahwa fungi unggul mempunyai kemampuan dekolorisasi pewarnaan pada medium lebih dari 99% dapat merubah limbah batik Indigosol Blue O4B menjadi jernih dengan nilai persentasi dekolorisasi tertinggi sebesar 98%. Selain itu, juga memiliki toksisitas rendah yang berpengaruh baik terhadap Bacillus cereus, Azotobacter sp., Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dan tidak memengaruhi pertumbuhan Zea mays dan Vigna radiate.
“Menariknya, produk hasil degradasi diidentifikasi sebagai senyawa yang sudah sederhana. Melalui penelitian ini nantinya dapat dibuat produk biologis ramah lingkungan yang murah dan mudah untuk diaplikasikan sebagai pengolah limbah cair batik,” urai dosen Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Selanjutnya, Syahran Wael menyampaikan hasil penelitian doktoralnya tentang potensi senyawa daun cengkeh terhadap perilaku seksual tikus jantan. Dosen Universitas Pattimura Ambon ini menyebutkan bahwa kandungan senyawa daun cengkeh yaitu eugenol, β-caryophyllene, α-humulene, dan caryophyllene oxide berpotensi sebagai afrodisiak dan inhibitor PDE5 (Phosphodiesterase type 5). Afrodisiak adalah senyawa kimia yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan libido atau membangkitkan hasrat seksual, sedangkan inhibitor PDE5 dimanfaatkan untuk mengobati disfungsi ereksi pada pria.
Hasil penelitiannya menunjukkan terjadi peningkatan secara bermakna pada perilaku seksual dan testosteron darah dan otak. Disamping itu, juga pemberian senyawa daun cengkeh ini menyebabkan perbesaran tubulus seminiferus, melebarnya uretra korpus kavernosum dan terjadi inhibitor PDE5 pada jaringan penis tikus. (Humas UGM/Ika)