
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tengah melakukan pemetaan sekaligus melakukan penguatan kapasitas masyarakat desa yang berada di pesisir pantai selatan Jawa. Sebanyak 584 desa yang berada di pesisir pantai selatan Jawa akan dinilai tingkat ketangguhan masyarakatnya dalam menghadapi ancaman risiko bencana tsunami. Kegiatan yang melibatkan relawan dan pakar ini akan melakukan pemetaan dari Banyuwani hingga Anyer, Serang, Banten. “Semua desa yang rawan tsunami akan kita nilai ketangguhannya,” kata Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB, Lilik Kurniawan, usai menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Pengurangan Risiko Bencana di ruang Balai Senat, Gedung Pusat UGM, Selasa (23/7).
Lilik menyebutkan kegiatan pemetaan ini akan berlangsung selama 34 hari dimulai dari 12 Juli hingga 17 Agustus mendatang. Pihaknya sengaja menggandeng para relawan setempat untuk bisa mengomunikasikan materi mitigasi bencana kepada masyarakat setempat. “Sekarang tim berada di Pacitan, besok sudah di daerah pesisir selatan DIY,” katanya.
Menjawab pertanyaan wartawan, Lilik menampik kegiatan pemetaan ketangguhan bencana ini sebagai respons terhadap prediksi salah satu pakar yang menyebutkan akan adanya potensi tsunami di selatan Jawa setinggi dua puluh meter. “Kegiatan ini bukan untuk merespons itu,” ujarnya.
Hasil dari pemetaan ini, menurut Lilik, akan disampaikan ke pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menindaklanjuti dari temuan BPNB ini. Apalagi, warga desa di selatan Jawa yang potensial terkena dampak bencana tsunami ini bisa mencapai 600 ribu orang. Menurutnya, penguatan warga desa agar tangguh bencana tidak bisa selesai dengan kegiatan ekspedisi pemetaan ini. “Kita mengajak kampus nantinya bisa melakukan KKN tematik, lalu memanfaatkan dana desa untuk pengguatan bencana dan pelaksanaan standar pelayanan bencana ini sebagai tugas kepala daerah untuk wajib menginfomasikan daerah mana saja yang rawan bencana,” katanya.
Soal pemasangan alat deteksi tsunami baru, Lilik mengatakan pihaknya saat ini baru dalam proses pengadaan alat deteksi tsunami bekerja sama dengan beberapa kementerian dan lembaga terkait. “Kita sedang negosiasi dengan Bank Dunia soal alat itu, soal sensor nanti kaitannya dengan BMKG, buat tsunami dengan BPPT, termasuk stasiun pencacatan pasang surut,” katanya.
Dalam pidato sambutannya, Kepala BNPB yang dibacakan oleh Lilik menyebutkan kejadian bencana dari awal Januari hingga pertengahan tahun ini meningkat hingga 15 persen dari tahun lalu. Adapun korban bencana dari 2009 hingga sekarang ini mencapai 11.579 orang meninggal dengan tingkat kerugian hingga Rp30 triliun. “Tidak heran kita disebut negara dengan korban bencana terbesar di dunia,” katanya.
General Manager Science GNS, Selandia Baru, Peter Benfell, mengatakan pihaknya melakukan kerja sama dengan UGM dan pemerintah Indonesia untuk mengurangi risiko bencana. Menurutnya, Selandia Baru dan Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana gempa bumi, tsunami dan erupsi gunung berapi. Namun demikian, katanya, pemerintah Selandia Baru melibatkan perusahaan asuransi untuk membayar ganti rugi bagi warga terkena bencana. “Awalnya pihak asuransi memandang sebelah mata dari dampak gempa bumi tapi kan nilai properti selalu naik,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga bekerja sama dengan peneliti bencana dari kampus lokal dan keterlibatan peneliti internasional untuk meningkatkan kapasitas riset bencana secara nasional. “Kucuran dana riset bisa mencapai 40 juta dolar Amerika setiap tahun,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)