
Suku Bugis-Makasar dan suku Toraja merupakan dua kelompok suku asli Sulawesi Selatan yang mendominasi populasi kota Makasar. Meski berasal dari provinsi yang sama, keduanya memiliki perbedaan identitas sosial yang sangat tajam.
“Walaupun perbedaan identitas sosial mereka sangat tajam, tetapi suku Bugis-Makasar dan suku Toraja bisa membangun relasi secara positif di Makasar,” ungkap Ichlas Nanang Afandi, Rabu (24/7) saat ujian program doktor di Fakultas Psikologi UGM.
Nanang menyebutkan perbedaan identitas sosial merupakan salah satu faktor yang memicu munculnya konflik. Kendati begitu, suku Bugis dan suku Toraja jarang terlibat konflik bernuansa suku dan agama. Seperti diketahui Suku Bugis-Makasar mayoritas beragama Islam, sedangkan suku Toraja mayoritas memeluk agama Kristen.
Melakukan penelitian pada masyarakat Suku Bugis-Makasar yang bermukim di Kampung Paropo dan suku Toraja yang tinggal di Kampung Rama, Nanang menjumpai relasi warga di kedua kampung berlangsung cukup harmonis. Sejak Kampung Rama berdiri sekitar tahun 70-an, suku Toraja yang tinggal di kampung itu mampu menjalin relasi secara positif dengan suku bugis-Makasar yang tinggal di kampung Paropo sehingga atmosfer di kawasan permukiman tersebut sangat kondusif.
Namun, pada tahun 217 sempat terjadi konflik dalam wujud bentrok antar warga kampung. Konflik skala besar itu merupakan pertama dan terbesar di kota Makasar. Walaupun tidak memakan korban jiwa, tetapi konflik tersebut menimbulkan kerugian material dan imaterial yang besar.
“Pasca konflik tersebut, atmosfer di kawasan permukiman tersebut kembali normal dan keharmonisan relasi yang telah terbina selama ini kembali di tengah-tengah warga,” jelas dosen Prodi Psikologi Universitas Hasanuddin ini.
Nanang memaparkan warga kampung Paropo dan warga kampung Rama berhasil menyelesaikan konflik dengan baik. Bahkan, konflik susulan yang sempat dikhawatirkan akan muncul kembali tidak terjadi. (Humas UGM/Ika; foto: Dok. Pemkot Makassar)