
Rohaniwan, Franz Magnis Suseno, atau akrab disapa Romo Magnis mengatakan radikalisme dan eksklusivisme bagian dari tantangan Pancasila untuk mengakomodasi kebangsaan. Meski Pancasila sudah diterima sebagai bagian dari identitas kebangsaan. “Kita sekarang menghadapi radikalisme yang tidak menerima Pancasila dan beragama tapi eksklusif, hanya aku yang lain tidak, yang lain jadi nomor dua dan tiga,” kata Romo Magnis dalam Seminar Nasional yang bertajuk “Ketahanan Moral dan Budaya Bangsa: Bela Negara dan Pencegahan Radikalisme di Kampus”, Jumat (26/7) di ruang seminar Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM.
Seminar dalam rangkaian kegiatam Lustrum UGM ke-14 ini menghadirkan pembicara lainnya, seperti Wakil Ketua Umum PBNU, Mochammad Maksum, dan Anggota Lembaga Dakwah PP Muhammadiyah, Dr. Zuly Qodir, Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti, Prof. Ir. Ismunandar, Dirjen Potensi Pertahanan, Kemhan RI, Prof. Dr. Bondan Tiara Sofyan, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroisme BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, dan pengamat terorisme, Nasir Abbas.
Soal terorisme dan radikalisme, Romo Magnis mengaku prihatin paham tersebut menyebar ke banyak negara sekarang ini. Apalagi, pelaku bom bunuh diri di Filipina adalah sepasang suami istri dari Indonesia yang diketahui baru saja kembali dari perang Siria. Untuk mengantisipasi hal serupa dan melakukan deradikalisasi ini ia berpendapat kehadiran negara dan pemimpin agama sangat menentukan. “Kita bisa sepakati bahwa keagamaan harus dirasakan secara positif, pemimpin agama harus mampu meyakinkan umatnya bahwa agama tidak pernah mengajarkan kekerasan,” katanya.
Meski radikalisme dan ekslusivisme dalam beragama menjadi bagian tantangan Indonesia dalam mewujudkan proses akomodasi kebangsaan, menurut Romo Magnis Indonesia sangat beruntung karena pasca reformasi 1998 tidak terjadi perpecahan seperti yang dialami Mesir saat ini yang berakhir dengan kudeta militer. “Mesir mengalami seperti Indonesia tahun 1998, hanya ingin mewujudkan UU Dasar yang bisa diterima semua pihak, berakhir dengan kudeta militer, sekarang Mesir terpecah pro dan kontra, tapi Indonesia maju,” katanya.
Dalam kesempatan itu, ia mengapresiasi sahabatnya yang jadi politisi seperti Amien Rais, Gus Dur dan Akbar Tanjung di kala itu membawa Indonesia menjadi demokratis. “Tidak menjadi negara agama tapi atas dasar Pancasila,” ungkapnya.
Wakil Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, mengatakan agama Islam mengajarkan umatnya untuk hidup toleran dengan agama lain. Soal negara Pancasila, Maksum menegaskan seluruh komponen bangsa sudah sepakat bahwa Indonesia sebagai negara ‘kesepakatan’ menaungi seluruh etnis, agama dan budaya.
Sementara itu, Dr. Zuly Qodir mengatakan Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan berpandangan bahwa negara Pancasila menjadi keputusan seluruh elemen bangsa. “Jika ingin mengganti Pancasila sama saja ingin membubarkan negara ini,” katanya.
Dirjen Potensi Pertahanan Kemhan RI, Pof. Bondan Tiara Sofyan, mengatakan tidak ada agama apapun yang mengajarkan terorisme dan radikalisme. Namun, menurutnya pengajaran terorisme dan radikalisme saat ini masuk lewat kampus dan sekolah sehingga generasi muda perlu dilindungi agar tidak terpapar oleh paham ini. Ia mengutip salah satu hasil survei yang menyebutkan bahwa sekitar 19,4 persen ASN tidak setuju dengan ideologi Pancasila dan 23,4 persen mahasiswa setuju dengan jihad untuk menegakkan negara Islam.
Paham radikalisme ini, menurut Tiara, masuk melalui kegiatan mentoring di kampus dan sekolah-sekolah. “Para mentornya diokupasi dengan pemahaman agama yang tidak betul,” ungkapnya.
Meski organisasi HTI sudah dilarang di Indonesia, menurutnya tidak serta menghentikan kegiatan penyebaran paham mereka.”HTI sudah dilarang di 21 negara, namun bisa saja menjelma berbagai bentuk yang kita tidak ketahui,” paparnya.
Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti, Prof. Ir Ismunandar, mengatakan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan penguatan pembinaan ideologi Pancasila dalam berbagai kegiatan pendidikan dan kemahasiswaan.”Salah satunya melalui penguatan mata kuliah agama yang berkualitas dengan nuansa anti radikalisme dan terorisme. Kita ingin menguatkan mahasiswa dalam berpikir kritis, kreatif, dan inovatif,” ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)