
Penelitian yang dilakukan pada tahun 1997 menyatakan bahwa sumber penyebab masalah proses self-regulation pada anak ADHD berkaitan dengan kontrol inhibisi pada fungsi eksekutif.
Mahasiswa program doktor Fakultas Psikologi UGM, Melani Arnaldi, menjelaskan bahwa masalah anak ADHD dalam meregulasi emosi tidak hanya dipengaruhi oleh kontrol inhibis tersebut, tetapi juga tergantung dengan motivasi anak ADHD dalam mengupayakannya.
“Penelitian ini berusaha menemukan sumber penyebab masalah proses self-regulation pada anak ADHD dengan meninjau pentingnya fungsi self-awareness sebagai salah satu variabel psikologi,” tuturnya saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Senin (29/7).
Wanita yang telah menjadi praktisi di bidang psikologi sejak tahun 2004 ini menuturkan, secara fungsinya masalah anak ADHD lebih baik ditinjau dari pendekatan psikologi. Hal ini berkaitan sebagai pendekatan teoritis yang dapat menggambarkan sumber penyebab masalah secara struktural.
“Penemuan sumber penyebab masalah pada fungsi psikologis akan dapat menjelaskan efektivitas terapi dan intervensi pada anak ADHD,” imbuhnya.
Proses self-regulation didefinisikan sebagai kemampuan mengarahkan fungsi eksekutif untuk mengadaptasi perilaku sesuai dengan batasan dan konsekuensi yang ada di lingkungan.
Hal ini mendasari pemahaman bahwa anak ADHD yang mengalami masalah self-regulation di sekolah umumnya sulit mengendalikan perilakunya sesuai dengan aturan dan batasan di sekolah sehingga anak sulit untuk berkonsentransi dan akhirnya mengalami masalah kesulitan belajar.
Hasil uji SEM memperlihatkan self-awareness sebagai salah satu dari dua fungsi psikologi yang memengaruhi terbentuknya proses self-regulation pada anak ADHD, di samping fungsi pemahaman. Fungsi self-awareness memiliki sumbangan sebesar 76,7% dan fungsi pemahaman memiliki sumbangan sebesar 19,9% terhadap mediator kontrol inhibisi pada fungsi eksekutif.
“Hal ini menunjukkan bahwa self-awareness memiliki fungsi yang lebih besar pengaruhnya dibandingkan fungsi pemahaman dalam membentuk kontrol tersebut,” terangnya.
Self-awareness sendiri telah mengalami perkembangan sejak anak berusia 3 sampai 4 tahun dan mencapai kemampuan meta-awareness pada usia 4 dan 5 tahun. Pada usia ini, anak sudah dapat memahami setiap konteks sosial dengan baik kaena anak sudah memiliki self-consciousness, self-evaluation, self-focus, dan self-recognition terhadap standar nilai di lingkungannya.
Melani menerangkan, permasalahan indikator self-awareness yang terbesar pada anak ADHD berkaitan dengan kemampuan anak ADHD untuk mengevaluasi fungsi afeksi secara sadar sebesar 87,8%. Anak ADHD sulit untuk menyadari dan mempertimbangkan hasil yang dilakukannya.
Ketidakmampuan anak mengevaluasi perilaku merupakan bagian dari rendahnya tingkat kesadaran anak dalam menentukan posisi dan peran di lingkungan. Anak sering melakukan tindakan yang ceroboh, agresif, dan sering gagal dalam mengelola emosi amarahnya pada situasi yang sama.
“Sulitnya anak ADHD mengevaluasi perilaku membuktikan bagaimana anak ADHD sulit menerima kritikan teman atas perilakunya, sehingga anak ADHD dikenal memiliki temperamen yang buruk,” tuturnya.
Ia menyebut bahwa diperlukan penelitian yang lebih mendalam terkait dengan intervensi untuk mengatasi masalah komorbiditas yang dialami oleh anak ADHD setelah dewasa, hal ini berkaitan dengan pengembangan intervensi self-awareness dan fungsi pemahaman. (Humas UGM/Gloria)