
Semenjak tahun 2000 – 2015 telah terjadi peningkatan jumlah migran internasional. Peningkatan tersebut tercatat mencapai 41 persen selama 15 tahun dikarenakan beberapa alasan, diantaranya semakin banyaknya negara yang tumbuh menjadi negara industri, mobilitas transnasional, dan adanya ketidakadilan sosial yang terjadi di negara asal.
Taiwan merupakan salah satu negara yang bertransisi secara cepat menjadi negara industri sejak tahun 1970. Di tahun 1989 pemerintah Taiwan mengeluarkan kebijakan migrasi tenaga kerja dan kebijakan ini menjadi titik tolak pasar tenaga kerja Taiwan, dan akhirnya bergabung dengan sistem tenaga kerja Asia Tenggara.
Tenaga kerja asing di Taiwan ini berasal dari beberapa negara, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Indonesia. Indonesia tercatat sebagai negara yang tenaga kerjanya paling banyak di Taiwan. Para tenaga kerja asing ini didominasi oleh perempuan dengan jenis pekerjaan sebagai pekerja domestik dan pekerja pabrik industri.
“Masalah yang ditemui para pekerja migran ini antara lain tidak diberikannya ijin tinggal secara permanen dan kebebasan yang cukup. Sebagai contoh tenaga kerja asing maksimal bekerja hanya selama 2 tahun dan selama itu mereka tidak diizinkan untuk berganti pekerjaan, terjadi rasisme, dan eksploitasi terhadap mereka,” ujar Prof. Jianbang Deng saat menjadi pembicara pada Seminar Terbuka “Migration Between Southeast Asia and Taiwan: Patterns and Trends”, di PSKK UGM, Kamis (8/8).
Jianbeng Deng menuturkan beberapa pekerja migran dari Indonesia di Taiwan, khususnya perempuan yang bekerja menjadi pekerja domestik, tetap bertahan dan berencana kembali ke kampung di Indonesia setelah 12 tahun. Mereka mampu bertahan cukup lama karena upah yang besar dan memiliki peluang untuk jalan-jalan ke luar negeri.
Sementara itu, di Taiwan sendiri justru muncul tren baru yaitu tidak sedikit pemuda Taiwan yang telah menempuh pendidikan di China memilih melanjutkan bekerja di Cina, khususnya di kota-kota besar seperti Shanghai dan Beijing karena perbedaan upah yang jauh lebih besar dibanding di negara asalnya, Taiwan. Para pemuda ekspatriat asal Taiwan ini telah membangun interaksi sosial yang kuat dengan warga lokal, contohnya pemuda Taiwan yang menjalin hubungan dengan pasangannya yang berasal China dan memilih menetap di China agar lebih dekat dengan pasangannya.
“China, terutama Shanghai, merupakan kota yang menjadi basis perusahaan-perusahaan besar di dunia. Hal inilah yang menarik para pencari kerja berasal dari luar China untuk bekerja di China,” tuturnya.
Jianbeng Deng mengungkapkan ekspatriat Taiwan di China dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori, diantaranya pemuda-pemuda oportunis dengan motivasi bekerja di luar negeri, pencari kerja/job seekers, profesional lokal, profesional internasional, dan dual career couples yaitu orang yang bermigrasi ke China karena harus mengikuti pasangannya dan akhirnya mendapatkan pekerjaan di China. Meskipun jumlah ekspatriat Taiwan ini terus meningkat di China tetapi mereka tidak mengelompokkan diri sebagai sebuah kelompok homogen di kelompok masyarakat China.
Inilah yang kemudian menjadi bentuk kekhawatiran soal gambaran generasi muda Taiwan di masa depan. Kekhawatiran terbesar yang dialami oleh generasi muda Taiwan adalah kecenderungan mereka bekerja ke luar negeri.
“Ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bersama karena jumlah warga Taiwan yang bekerja ke luar negeri sejak tahun 2009 hingga 2016 cenderung meningkat. Jumlah tersebut didominasi usia 30-49 tahun sebanyak 52 persen, di atas 49 tahun sebanyak 34 persen dan paling sedikit usia di bawah 30 tahun sebanyak 13 persen. Tujuan terbesar mereka bermigrasi adalah China disusul kemudian Asia Tenggara dan Amerika,” paparnya. (Humas UGM/ Agung)