
Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menjadi pembicara kunci dalam acara pembukaan Kongres Pancasila XI di UGM, Kamis (15/8).
Dalam pidatonya, ia menyampaikan pesan agar pembahasan tentang Pancasila tidak dilakukan secara rumit sehingga justru menimbulkan kebingungan.
“Semakin sederhana pembahasan Pancasila, semakin orang bisa paham. Semakin orang paham maka Pancasila semakin bisa dihayati,” tuturnya.
Pancasila, ujarnya, bukan sekadar slogan atau filsafat, tapi merupakan fondasi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus bisa dimengerti dan dihidupi, tidak hanya dihafalkan.
“Fondasi itu tidak perlu kelihatan, tapi dia menjadikan negara kita kokoh,” imbuhnya.
Baginya, penghayatan Pancasila dalam kehidupan masyarakat menjadi hal yang lebih penting dibandingkan penguraian Pancasila secara ilmiah yang justru menimbulkan berbagai penafsiran berbeda.
“Pancasila sebenarnya sangat sederhana dan tegas, tapi dalam penafsiran dan pelaksanaannya kadang berbeda-beda, tergantung siapa yang menafsirkan dan melaksanakannya,” terang Jusuf Kalla.
Sebelum membuka Kongres Pancasila, ia berpesan agar para pembicara dan peserta dapat melakukan diskusi yang menghasilkan pikian-pikiran yang dapat dipahami oleh segenap masyarakat.
“Semoga Kongres ini menghasilkan sesuatu yang sederhana, mudah dipahami, mudah dihayati, dan mudah diukur,” pungkasnya.
Kongres Pancasila XI yang mengambil tema“Aktualisasi Pancasila dalam Merajut Kembali Persatuan Bangsa” menegaskan tanggung jawab segenap elemen masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Penegasan ini dirasa penting, terutama dalam konteks masyarakat yang beberapa waktu terakhir sempat diwarnai oleh rivalitas tensi tinggi dan ancaman perpecahan, serta kegaduhan yang bersumber dari berita-berita hoaks dan provokatif.
“Perjuangan para pendahulu kita dalam menentang kolonialisme adalah demi merontokkan struktur yang membeda-bedakan warga negara, menolak struktur anti-kesetaraan dan anti-kebebasan. Sayangnya, dalam kehidupan kita hingga saat ini masih terjadi relasi kuasa yang tidak seimbang,” papar Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.End., D.Eng., IPU.
Untuk mewujudkan visi bernegara seperti yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 alenia kedua, dibutuhkan kemauan dan kemampuan setiap warga negara untuk bekerja sama di dalam segala ragam perbedaan yang ada.
Persatuan menjadi kunci dalam suasana kehidupan yang diliputi oleh perpecahan sehingga kerja sama membangun negara menjadi terlalu sulit dilakukan bila kehidupan berbangsa dipenuhi prasangka, dan ketiadaan rasa saling percaya.
Ia menerangkan, munculnya sejumlah organisasi atau masyarakat sipil yang tidak sipil menjadi tantangan penting untuk masyarakat demokrasi dan masyarakat Pancasila hari ini.
Sebuah negara yang dipenuhi oleh sikap-sikap yang tidak sipil dan penuh kebencian akan memecahkan sendi-sendi persatuan bangsa yang telah dibangun bersama-sama, menjadikan lingkungan tidak sehat, merusak dan beracun, tidak menciptakan kemajuan, produktivitas dan peradaban yang tinggi.
“Kebebasan mengungkapkan pikiran, dan keyakinan perlu diberi tempat, kita lindungi dan kita beri salurannya, agar ide-ide dan kreatifitas bisa mengalir dengan bebas. Tetapi dalam menjalankan hak bersuara ini, lakukanlan secara sipil, dengan cara yang elegan dan beradab,” ucapnya.
Dalam Kongres ini, akan dipresentasikan 141 abstrak call for papers dari para peserta kongres. Di samping itu, rangkaian acara Kongres Pancasila juga diisi dengan Orasi Kebangsaan dari Menteri Komunikasi dan Informatika RI dengan tema “Berita Bohong (hoaks) Merusak Kesatuan Bangsa “ serta dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tema “Pesan Persatuan Bangsa, dari Yogya untuk Indonesia”, juga paparan oleh berbagai pembicara lainnya. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)