
Kongres Pancasila ke-11 yang berlangsung pada 15-16 Agustus di ruang Balai Senat UGM ditutup pada hari Jumat (16/8). Kongres yang diisi Orasi Kebangsaan Wapres Jusuf Kalla, Menkominfo Rudiantara, dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, melibatkan 151 orang penyaji makalah dan diikuti 411 peserta.
Ketua Tim Perumus Kongres Pancasila, Prof. Dr. Sutaryo, mengatakan Kongres Pancasila tahun depan tidak hanya mengundang peserta dari dalam negeri, namun juga peserta dari luar. Sebab, beberapa negara tertarik untuk ikut kegiatan yang mengulas perkembangan ideologi Pancasila dan sejauh mana implementasinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia tersebut. “Peserta dari Perancis dan Afganistan meminta untuk diundang. Tahun depan Kongres Pancasila menjadi kongres internasional,” kata Sutaryo disela-sela pembacaan hasil rumusan dan deklarasi Kongres Pancasila ke-11.
Kongres Pancasila yang akan mengundang peserta dari luar tersebut maka nantinya akan dipersiapkan dengan lebih baik lagi. Menurut Sutaryo, ketertarikan negara asing pada Pancasila bukan tanpa alasan, sebab Pancasila sudah dikenal sejak lama, bahkan Presiden Sukarno saat sidang umum PBB pada tahun 1960. “Pancasila tahun 1960 digaungkan di sidang umum PBB karena bisa menjadi piagam perdamaian dunia,” katanya.
Dalam pembacaan penyampaian tujuh butir hasil rumusan dan lima butir deklarasi Kongres Pancasila kali ini, Sutaryo menegaskan bahwa Pancasila bukan mitos tapi sebaliknya dijadikan etos bangsa dan logos dalam bentuk ilmu. “Untuk mempekuat Pancasila, peran pengetahuan dan filsafat sangat penting,” katanya.
Meski Pancasila dijadikan ideologi dan etos kebangsaan, namun Pancasila menghadapi berbagai isu dan berita bohong yang berseliweran di media sosial lewat perkembangan teknologi dan informasi. “Kita perlu mencermati secara seksama banyak penyebaran berita bohong yang bertujuan melawan Pancasila dan merebut kekuasaan pemerintah,” katanya.
Oleh karena itu, pelaksanaan Pancasila hendaknya dilakukan melalui contoh dan sikap keteladanan dalam tataran praktis dan inspiratif. Selain itu, ia mengimbau agar seluruh warga negara tidak tinggal diam apabila ideologi Pancasila dirongrong oleh penyebaran paham radikalisme dan ideologi transnasional. “Kekacauan yang terjadi di banyak negara karena silent majority memilih diam, di Indonesia sekitar 90 persen saya kira masih mencintai Pancasila maka harus berteriak, bicara dan menjalankan Pancasila sebagai dasar hubungan bermasyarakat,” katanya.
Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, Agus Wahyudi, Ph.D., mengatakan peneguhan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan alat pemersatu memerlukan komitmen dan tindakan bersama seluruh anak bangsa. Sebab, proses pembentukan identitas kebangsaan dan rasa nasionalisme tidak pernah selesai. “Proses nasionalisme itu selalu berlanjut dan tidak pernah selesai, semua berada di tangan kita untuk terus mendorong generasi muda mencintai Pancasila,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)