
Sejak berdiri pada tahun 2013 silam, Gugus Tugas Papua UGM secara aktif memberikan pendampingan bagi mahasiswa asal Papua yang mengenyam studi di UGM.
Pada tahun ajaran baru ini, GT Papua menginisiasi program pendampingan yang melibatkan mahasiswa di masing-masing fakultas untuk membantu para mahasiswa Papua dalam mengikuti proses pembelajaran.
“Beberapa waktu yang lalu kami sudah mengumpulkan mahasiswa-mahasiswa Papua yang ada di sini, lalu juga merekrut para mahasiswa sukarelawan di masing-masing fakultas dan prodi untuk menjadi pendamping. Jadi, satu mahasiswa Papua akan didampingi satu teman mahasiswa dalam belajarnya,” tutur Ketua Gugus Tugas Papua, Drs. Bambang Purwoko, M.A., Selasa (20/8).
Ia menerangkan, mahasiswa Papua yang mereka dampingi selama ini mengaku banyak menemukan kesulitan di dalam perkuliahan, terutama pada tahun-tahun awal studi mereka. Hal ini, menurut Bambang, adalah hal yang wajar mengingat para mahasiswa harus beradaptasi dengan lingkungan pendidikan serta budaya yang berbeda.
Karena itu, kegiatan pendampingan dirasa menjadi hal yang penting sebagai salah satu wujud perhatian dan dorongan positif dari universitas, agar para mahasiswa dapat menyelesaikan studinya dengan baik dan nantinya mampu berkontribusi bagi pembangunan daerah.
“Semester awal banyak yang kesulitan menangkap penjelasan dosen dan itu sangat wajar, ada perbedaan intonasi dan bahasa yang sangat mendasar. Kita juga harus paham mereka berasal dari daerah dengan lingkungan pendidikan yang berbeda, jadi coaching dan tutoring menjadi hal yang penting,” terang pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan ini.
Pada tahap awal pelaksanaan program ini pendampingan dilakukan kepada 9 mahasiswa baru dari Kabupaten Mappi yang berkuliah di Fakultas ISIPOL, Pertanian, Teknologi Pertanian, dan Kehutanan. Untuk merekrut pendamping, PPKK bekerja sama dengan BEM KM serta BEM di tingkat fakultas.
Bambang mengapresiasi antusiasme yang tinggi dari mahasiswa untuk terlibat di dalam program pendampingan. Hal ini, ujarnya, menunjukkan kepedulian dan rasa empati yang sangat tinggi dari mahasiswa UGM.
“Respons dari mahasiswa sangat positif. Ketika kami kumpulkan, mereka justru aktif menyatakan concern mereka, bahwa banyak teman-teman mereka dari Papua yang menghilang dari kampus karena berbagai kesulitan, makanya mereka kemudian tergerak untuk menjadi pendamping,” ungkapnya.
Untuk memastikan kelancaran proses pendampingan, pihaknya akan mengadakan pertemuan secara rutin dengan para pendamping untuk memonitor perkembangan program serta kendala yang mungkin dihadapi.
Usai merekrut pendamping untuk kesembilan mahasiswa dari Kabupaten Mappi, program ini rencananya akan diperluas bagi mahasiswa Papua lainnya. Tidak terbatas bagi mahasiswa baru, pihaknya juga siap membantu mahasiswa lama yang memerlukan pendampingan khusus.
Di samping program ini, Gugus Tugas Papua UGM juga sedang mempersiapkan wadah yang dinamakan Rumah Inisiasi Bersama Mahasiswa Papua (Rimba Papua) untuk mempermudah komunikasi dengan para mahasiswa.
“Dengan Rimba Papua ini nanti harapannya mahasiswa akan merasa nyaman untuk datang ke sini, berkonsultasi apa pun tentang persoalan-persoalan akademik maupun non-akademik,” ucap Bambang.
Dari pengalaman sebelumnya, ia menyebut bahwa mahasiswa Papua yang mereka dampingi mengaku mendapatkan kepercayaan diri yang lebih serta motivasi di dalam menjalankan studi di UGM. Melalui program-program ini, diharapkan para mahasiswa Papua dapat mengikuti kegiatan perkuliahan dengan baik dan mampu menyelesaikan studinya.
“Program ini menjadi model, membuktikan bahwa secara akademis universitas hadir memperhatikan mahasiswa yang kondisinya berbeda-beda,” ucapnya.
Ia pun mengajak sivitas akademika UGM serta masyarakat untuk turut memberikan perhatian serta dukungan kepada para mahasiswa asal Papua dan wilayah Indonesia Timur lainnya, yang sering menghadapi kesulitan di lingkungan akademik maupun lingkungan sosial.
Perhatian serta dukungan yang positif, menurut Bambang, menjadi hal yang berarti bagi para mahasiswa.
“Kita sebagai dosen harus memerankan diri bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga pendidik, yang di dalam karakter seorang pendidik itu harus mampu memahami keunikan dari setiap peserta didik. Maka perlu ada sentuhan khusus dari dosen. Mereka diperhatikan saja, itu rasanya sudah luar biasa, sangat menolong,”katanya. (Humas UGM/Gloria)