
Badan Pembinanaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Keputusan Kepala BPIP RI No 10 tahun 2019 belum lama ini telah menetapkan 74 Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila tahun 2019. Penetapan ini didasarkan pada kriteria sains dan inovasi, olahraga, seni budaya dan bidang kreatif dan sosial entrepreneur.
Para ikon tersebut memiliki tugas berat, antara lain untuk menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila, terlibat aktif di berbagai media untuk menciptakan pandangan positif dalam mengapresiasi prestasi Pancasila di kalangan generasi muda, dan menjadi sumber inspirasi serta memberikan keteladanan dalam mengharumkan nama bangsa.
Salah satu dari 74 ikon apresiasi prestasi Pancasila yang terpilih pada tahun 2019 adalah Prof. Ir. Teuku Faisal Fathani, S.T., M.T., Ph.D., IPM., dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik UGM. Ia dipilih oleh BPIP atas inovasinya dalam mengembangkan alat-alat deteksi dini bencana longsor.
Pria kelahiran Banda Aceh, 26 Mei 1975 ini telah memulai inovasinya sejak tahun 2006. Saat ini ia telah menghasilkan sekitar 35 varian alat dengan 5 paten yang telah diberikan oleh Hak Kekayaan Intelektual. Hal itu termasuk alat Gadjah Mada Early Warning System (GAMA-EWS).
Teknologi sistem peringatan dini bencana yang terkoneksi dengan sistem telemetri (SMS, GSM, Radio Frequency, WiFi hingga Satelit) ini telah dipasang lebih dari 110 kabupaten/kota di 32 provinsi di Indonesia dan juga di Myanmar. Selain dipakai oleh pemerintah, inovasi teknologi ini juga telah digunakan oleh kalangan industri/swasta dalam dan luar negeri. Beberapa industri tersebut yaitu PT. Pertamina Geothermal Energy, PT. Medco International, PT. Freeport Indonesia, PT. Geodipa Energi, PT. Inco Sorowako, PT. Arutmin hingga United Mercury Group-Myanmar.
Sistem peringatan dini ini sudah terbukti mampu menyelamatkan jiwa manusia di berbagai wilayah Indonesia. Tempat-tempat tersebut antara lain Banjarnegara (2007), Aceh Besar (2015), Donggala (2016), Lombok Barat (2016), Kerinci (2017), Gunungkidul (2017) dan lokasi lainnya.
Dengan capaian ini maka sejak tahun 2011 UGM ditetapkan oleh UN-ISDR UNESCO sebagai World Center of Excellence on Landslide Disaster Risk Reduction selama tiga periode berturut-turut (2011-2014; 2014-2017; 2017-2020). Prof. Fathani juga meraih (1) IPL Award for Success dari UNESCO 2011; (2) Adjunct Professor dari UNESCO Chair on Geoenvironmental Disaster Reduction 2018-2020; (3) ICGdR Honorary Fellow 2017; dan (4) Excellent Research Award on Mitigation of Geo-disasters in Asia 2012.
Adapun di tingkat nasional, Prof. Fathani telah meraih penghargaan (1) Academic Leader (Adibrata) 2017 dari Kemenristekdikti RI; (2) Anugerah Kekayaan Intelektual Nasional 2016 “Kategori Inventor” dari Dirjen Kekayaan Intelektual, Kemenhumham RI; (3) Penghargaan Kebangkitan Teknologi Nasional 2015 dari Kemenristekdikti RI; (4) Inovator Teknologi 2015 dari Kemenristekdikti RI; dan (5) Dosen Berprestasi Peringkat 1 Nasional 2013 dari Kemendikbud RI.
Selain alat, Prof. Fathani juga membuat produk berupa publikasi pada jurnal ternama, baik di tingkat internasional dan nasional. Karya-karyanya telah didorong sebagai rujukan nasional maupun internasional mengenai kebencanaan, seperti yang telah terdaftar dalam SNI 8235:2017 dan ISO 22327:2018 dan ISO 22328-1:2019.
BPIP memandang bahwa tantangan dalam penanggulangan bencana dihadapi bangsa Indonesia tidak hanya ancaman bencana alam saja, tetapi juga ancaman bencana ketergantungan terhadap teknologi asing. Oleh karena itu, BPIP memilih Prof. Fathani sebagai Ikon Apresiasi Prestasi Pancasila tahun 2019. BPIP melihat berbagai penemuan dan inovasinya diharapkan mampu memperkuat ketangguhan bangsa dalam menjaga keberlanjutan dalam upaya penanggulangan bencana dengan menegakkan “kedaulatan teknologi nasional” di bidang kebencanaan.
Prof. Fathani menyebut tidak menyangka atas pemilihannya sebagai ikon tersebut. Menurutnya, penunjukkan ini merupakan sebuah tugas berat karena tanggung jawab serta amanah yang harus diembannya. “Namun, sebagai aparat sipil ketika diberi tugas tentu harus saya laksanakan sebaik mungkin,” tutur Kaprodi Magister Manajemen Bencana Pascasarjana UGM ini.
Ia mengaku tidak tahu kriteria apa saja yang dipakai BPIP dalam menunjuknya. Secara pribadi, ia juga menyebut bahwa dirinya tidak pantas untuk menerimanya. “Dalam semua penghargaan yang saya terima, saya selalu merasa tidak pantas. Hal itu karena tidak pernah satukalipun saya mengajukan diri. Jadi semuanya merupakan pengakuan orang lain terhadap kerja keras saya dan seluruh tim,” ungkapnya.
Ia menyebut filsafat yang dibawa oleh Ki Hajar Dewantara, yakni menyadari keterbatasan diri dengan keinsayafan. “Kalau kita ingin maju, maka harus punya self reflection,“ terangnya.
Sebagai dosen ia juga memegang prinsip Tridarma perguruan tinggi. Ketiga poin dari Tridarma tersebut yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Namun, menurutnya, pemahamannya tentang prinsip tersebut bisa jadi berbeda dengan dosen lain. “Saya memahami ketiga poin tersebut sebagai satu kesatuan. Saya menjalankan pendidikan untuk menyokong penelitian dengan hasil yang nantinya diharapkan berdampak nyata kepada masyarakat,” paparnya. (Humas UGM/Hakam)