
Memperingati LUSTRUM ke-14, Universitas Gadjah Mada meluncurkan buku berjudul “Kata Bersama” Antara Muslim dan Kristen. Buku yang diterbitkan UGM Press ini merupakan bagian dari edisi asli berbahasa Inggris berjudul “A Common Word Between You and Us” yang ditulis oleh para ahli dari berbagai bidang.
Sebagai respons terhadap Dokumen Kata Bersama, buku ini ditandatangani 138 cendekiawan, ulama, dan intelektual muslim yang pada intinya menegaskan Islam dan Kristen memiliki dasar paling fundamental yang sama, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Peluncuran buku ini ditandai dengan diadakannya bedah buku yang menghadirkan pembicara Prof. David K. Linnan sebagai salah satu editor, Romo Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid), Dr. Zainal Abidin, M.A., Dr. R.B. Abdul Gaffar Karim, S.IP.,MA, dan Dr. Hj. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A.
Buku berbahasa Indonesia ini menampilkan penulis dalam edisi berbahasa Inggris juga penulis-penulis baru yang merupakan tokoh berpengaruh di Indonesia di bidang teologi, spiritualitas, metafisika, lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan pembangunan. Melalui bidang-bidang tersebut Muslim dan Kristen dapat saling berdialog, bekerja sama, dan saling mendukung guna melaksanakan salah satu perintah Tuhan, yakni saling mengenal guna mewujudkan persaudaraan di antara sesama. Terpeliharanya persaudaraan dalam bingkai kemanusiaan menjadi sendi utama dalam rangka menciptakan kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terkait buku ini, Yenny Wahid menyatakan sebaiknya bukan hanya sekadar dokumen, namun harus diturunkan menjadi rencana aksi nasional. Aksi-aksi terkait toleransi ini harus jelas, bagaimana di sekolah dan aksi-aksi toleransi di tingkat masyarakat.
“Di sekolah itu harus melakukan apa, di masyarakat, di semua pranata sosial, lantas bagaimana jika masuk kurikulum pendidikan, bagaimana caranya bisa juga dengan training para dai dai ustadz ustadzah, para pastor pastor dan lain sebagainya secara komprehensif. Jadi, tidak sporadis sendiri-sendiri tapi menyeluruh dan menjadi sebuah rencana aksi nasional,” katanya, di Gedung Pusat UGM, Kamis (22/8).
Buku ini, kata Yenny, sangat penting dan wajib dibaca untuk mahasiswa. Sebab dalam Islam saja mengakui adanya kebhinekaan, dimana manusia diciptakan bukan seragam melainkan beragam.
“Bukan untuk berantem karena kalau berantem itu dalilnya darimana. Zaman sekarang ini yang dicari kebersamaan, adanya kesamaan, mencintai sesama meski secara agama berbeda, namun terakhir-terakhir agama nampaknya juga sudah direduksi, yang diunggul-unggulkan soal politik identitas bukan nilai-nilai dari agama,” tuturnya.
Romo Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ mengatakan yang terpenting dalam diskusi semacam ini tidak hanya di tataran akademisi saja, melainkan implementasi dalam masyarakat. Bagaimana misalnya dalam Katolik, seorang pastor paroki mendatangi seorang tokoh ulama setempat untuk memperkenalkan diri dan menjalin hubungan.
“Romo memegang peran penting di umat paroki, ia bisa membangun hubungan baik dengan muslim dengan cara-cara seperti ini, sowan ke tokoh agama yang disegani disitu dan memperkenalkan diri. Begitu banyak cara sehingga tidak hanya di tingkat akademisi, tapi di tingkat akar rumput memang terjadi hubungan baik antara Kristen dan Muslim,” katanya. (Humas UGM/ Agung)