
Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri (RS PTN) yang berada di bawah Kemenristekdikti mengemban tugas Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu penelitian, pendidikan, dan pengabdian masyarakat.
Di samping itu, RS PTN juga memiliki peran yang penting untuk mendukung pelayanan kesehatan di dalam bingkai Jaminan Kesehatan Nasional.
“Dalam pelayanan kesehatan, tujuan khusus PTN adalah memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan akan layanan kesehatan lokal, nasional, dan perkembangan kebutuhan pelayanan ke depan,” terang Direktur Penjaminan Mutu, Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ristekdikti, Prof. Aris Junaedi, Jumat (23/8).
Hal ini ia sampaikan saat memberikan pidato kunci yang berjudul “Kebijakan Kemenristekdikti: Percepatan RS PTN sebagai RSP dalam mendukung Universal Health Coverage/Jaminan Kesehatan Nasional” dalam Pertemuan Tahunan Asosiasi Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri (ARSPTN) Kedua yang berlangsung pada 22-24 Agustus 2019 di Hotel Royal Ambarukmo.
Fokus pembahasan dalam Annual Meeting ARSPTN ke 2, yaitu “Strategi Menuju Kemandirian Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri di Era Jaminan Kesehatan Nasional”.
Tema ini relevan dengan situasi dan kondisi yang terjadi pada saat ini. Pentingnya reorientasi pelayanan kesehatan rumah sakit, khususnya RS PTN berdasarkan standar mutu dan keselamatan pasien, selanjutnya rumah sakit diharapkan dapat berkomitmen menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan mutu dan keselamatan pasien, serta memberikan pelayanan yang terintegrasi dan berkesinambungan.
RS PTN, ujar Aris, menyiapkan wahana pendidikan yang mengakomodasi perkembangan IPTEK yang berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan pelayanan.
Untuk menunjang fungsi tersebut, perlu dilakukan harmonisasi sektor pelayanan kesehatan dan sektor pendidikan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mewujudkan harmonisasi adalah pendirian komite bersama antara Kemenristekdikti dan Kementerian Kesehatan.
“Hal ini sangat urgen dan perlu diselaraskan bersama. Targetnya ada luaran berupa strategi baru untuk meningkatkan mutu kesehatan yang baik dengan biaya yang terjangkau,” ucapnya.
Selain membentuk komite, harmonisasi regulasi juga perlu dilakukan untuk mendukung implementasi RS PTN. Hal serupa disampaikan oleh Dewan Penasehat ARSPTN, Prof. dr. Amal Chalik Sjaaf, S.KM., Dr.PH. Dalam salah satu simposium yang berlangsung di hari yang sama, ia mengangkat isu penguatan sistem rumah sakit pendidikan.
Ia mengutip data dari Bappenas yang menyebutkan bahwa ada sekitar 8.900 kebijakan yang tumpang tindih di berbagai level kebijakan. Disrelevansi kebijakan ini disebabkan banyaknya produk kebijakan yang masih aktif tetapi kadaluwarsa karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman yang ditandai dengan disrupsi.
“Selain itu, terdapat konflik kepentingan antara kementerian atau lembaga dan friksi ini menghambat pencapaian tujuan negara,” ucapnya.
ARSPTN dibentuk guna menyamankan persepsi dari seluruh RSPTN di Indonesia, dengan salah satu tugas utama untuk mendorong agar seluruh RSPTN dapat tumbuh dan berkembang mandiri. Pertemuan yang baru digelar untuk kedua kalinya ini diharapkan menjadi ajang diskusi para pemangku kepentingan, penyelenggara, praktisi dan akademisi, yang hasilnya menjadi rekomendasi untuk ditindaklanjuti berbagai pihak terkait.
Topik-topik yang didiskusikan dalam pertemuan ini antara lain meliputi good governance dalam pengelolaan RSPTN, strategi implementasi akreditasi rumah sakit SNARS Ed.1, strategi kolaborasi dan pelaksanaan academic health system, serta topik terkait era JKN. (Humas UGM/Gloria)