Pemerintah telah mengumumkan rencana pemindahan ibu kota pemerintahan ke wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Meski ibu kota baru ini akan mengemban fungsi utama di bidang pemerintahan, namun kota tersebut tidak akan menggantikan keseluruhan fungsi yang saat ini berjalan di Kota Jakarta.
“Ini berbagi fungsi, jadi fungsi pemerintahan yang pindah ke satu titik lain di Indonesia. Fungsi yang lain, fungsi ekonomi, fungsi komersial, ya tetap di Jakarta. Itu tidak akan membangkrutkan Jakarta, Jakarta tetap akan hidup dan menghidupi daerah hinterland-nya,” ujar pakar pembangunan wilayah UGM, Prof. Dr. R. Rijanta, M.Sc., saat diwawancara Selasa (27/8).
Urgensi pemindahan ibu kota, ujarnya, tidak semata-mata didasarkan pada kondisi kemacetan atau kepadatan penduduk yang terjadi di Jakarta, namun pada fakta bahwa fungsi kota yang dijalankan oleh Jakarta sudah saling menumpuk hingga menimbulkan kompleksitas, serta demi mewujudkan keseimbangan spasial dalam pembangunan di Indonesia.
“Jakarta itu rumit, macet, karena Jakarta merupakan tumpukan fungsi pelayanan yang sifatnya bercampur. Jakarta mengemban fungsi kota yang banyak sekali, dari fungsi pelayanan yang sifatnya lokal, regional sekitar Jakarta, sampai dengan fungsi nasional dan bahkan yang cakupan layanannya internasional,” terangnya.
Pembagian fungsi kota kepada ibu kota yang baru, menurutnya, menjadi hal yang baik bagi kota Jakarta sendiri, kota yang dituju, serta bagi daerah lain yang menjadi bagian dari pengembangan wilayah ibu kota baru.
Baginya, keputusan memindahkan ibu kota ke luar Jawa adalah keputusan yang tepat untuk rencana pembangunan jangka panjang, terutama untuk mengoreksi problem kesenjangan yang semakin parah.
“Ini dibutuhkan wawasan jangka panjang. Kalau orang punya wawasan jangka panjang akan setuju dengan gagasan itu, tapi kalau berpikir jangka pendek pasti tidak akan sejauh itu memikirkan masalah yang sangat besar yang namanya kesenjangan,” ucapnya.
Pemilihan Kaltim Tepat
Pemilihan Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru, menurut Rijanta, sudah tepat. Dibanding kota-kota lain yang sempat muncul dalam wacana ibu kota baru, kota-kota di Kalimantan Timur dianggap paling siap untuk dikembangkan untuk fungsi yang lebih besar.
“Semua ada plus minus, tapi Kalimantan Timur banyak plusnya. Infrastrukturnya siap, bandara sudah ada, lalu dekat dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia yang menjadi alur utama pelayaran skala besar, jadi dari segi angkutan laut juga strategis sekali,” terangnya.
Di samping itu, dari segi sosial, heterogenitas masyarakat yang cukup tinggi menjadikan wilayah ini lebih siap untuk menerima perubahan.
“Kota yang sudah familiar dengan mengelola perbedaan bisa menjadi kota yang lebih besar tanpa harus ada banyak masalah dalam prosesnya,” imbuhnya.
Berbagai Tantangan
Dengan berpindahnya ibu kota, diperkirakan setidaknya ada ratusan ribu aparatur sipil negara beserta keluarga mereka yang akan berpindah ke wilayah yang baru tersebut. Perpindahan ini menghadirkan tantangan tidak hanya dari segi konstruksi atau kesiapan infrastruktur, tetapi juga penyediaan layanan pendukung seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Rijanta menyebut salah satu tantangan krusial yang kurang disoroti adalah persoalan pemenuhan kebutuhan pangan.
“Satu juta orang kalau nanti berpindah ke sana, kesiapan yang ada di sana bukan hanya persoalan pusat ibu kotanya, tapi juga pelayanan pendukung untuk kehidupan orang-orang itu sendiri. Bagi saya yang sangat urgen adalah pangan, karena Kalimantan itu masih mendatangkan bahan pangan dari Jawa Timur,” paparnya.
Dalam perspektif modern, ia menerangkan bahwa makanan sebaiknya datang dari tempat yang tidak jauh dari tempat tinggal penduduk.
Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan pengembangan wilayah-wilayah pendukung untuk menyediakan kebutuhan tersebut, baik melalui penguatan kapasitas pengelolaan sumber daya atau dengan menggalakkan program transmigrasi di kabupaten sekitar.
Pemerintah, ujarnya, juga perlu mengantisipasi perkembangan sektor-sektor ekonomi, pariwisata, hiburan, dan lainnya yang akan muncul seiring dengan pembangunan pusat pemerintahan. Untuk itu, pemerintah harus memiliki rancangan serta aturan tata ruang yang jelas dan tegas.
“Jangan sampai dalam jangka panjang terjadi kesemrawutan baru yang mengulang apa yang terjadi di ibu kota lama. Harus dipikirkan dari sekarang, fungsi-fungsi di luar pemerintahan nanti ada di mana, dan itu harus ditegakkan secara ketat, jangan kecolongan,” ucapnya.
Terkait kesiapan pemerintah untuk memulai proses perpindahan secara menyeluruh, ia menyebut bahwa target pemindahan pada tahun 2024 dirasa cukup masuk akal. Persiapan yang krusial, menurutnya, terletak pada penyiapan dan penyesuaian peraturan perundang-undangan yang diperlukan.
“Kalau konstruksinya saya rasa tiga sampai empat tahun cukup. Yang penting legalitasnya dikejar supaya beres dulu,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria;foto:Twitter.com/jokowi)