Presiden Joko Widodo berencana untuk memindahkan ibu kota negara di Provinsi Kalimantan Timur. Pemindahan ibu kota ini direncanakan akan dimulai pada tahun 2024. Meski hanya sebagai pusat pemerintahan, namun proses pemindahan ibu kota ini tersebut dilakukan secara bertahap. Dalam satu setengah tahun ini pemerintah akan menyiapkan konsep desain ibu kota yang mencerminkan kota cerdas, modern dan bertaraf internasional. “Kita ingin mewujudkan kota cerdas dan modern berstandar internasional menjadikam ikon urban desain sebagai representasi kemajuan bangsa yang unggul,” Kata Menteri PUPR, Basuki Hadimulyono, kepada wartawan usai memberi kuliah umum di hadapan 471 mahasiswa baru program pascasarjana Fakultas Teknik UGM di Grha Sabha Pramana, Selasa (27/8).
Menurutnya, dimulai pada tahun ini hingga 2020 pihaknya tengah menyiapkan desain kawasan, konsep tata ruang dan tata banguan dan lingkungan. “Kita akan menentukan dimana letak istananya, kantornya, perumahan, dan lokasi komersialnya,” katanya.
Selain itu, setelah ada anggaran, selanjutnya akan segera dibangun prasarana dasar dalam rangka membuka akses menuju lokasi ibu kota. “Kemudian kita bangun waduk untuk pasokan air bersih dan sarana transportasi dari kereta api dan listriknya. Selanjutnya perumahan dan perkantoran,” katanya.
Pembangunan sarana dasar berupa jalan ini ditargetkan akan dimulai pada pertengahan tahun depan. Apabila selesai ibangun diikuti dengan pembangunan perkantoran dan perumahan dan proses pemindahan sudah bisa dilakukan mulai tahun 2023. “Pemindahan akan bertahap, mulai kantor utama PU dulu, kantor keuangan, kantor Presiden dan itu bertahap,” katanya.
Lahan yang diperlukan untuk pembangunan ibu kota ini seluas 180 ribu hektare, namun untuk tahap awal menurutnya akan di bangun di lahan seluas 40 ribu hektar. “Bangunan utamanya di lahan seluas 40 ribu hektar,” katanya.
Ia menjamin proses pembangunan ibu kota baru ini tidak akan merusak lingkungan. Pihaknya bahkan akan menghijaukan kembali daerah bekas sawit dan batu bara yang ada di sekitar ibu kota baru tersebut. “Konsepnya A City in The Forest, hutan Suharto banyak bekas ilegal sawit akan dihutankan lagi,” katanya.
Ia memperkirakan jumlah penduduk di ibu kota yang baru berkisar 1,5 juta jiwa karena berasal dari tambahan 800 ribu ASN yang akan dipindahkan. Ibu kota negara, kata basuki, hanya menjadi pusat pemerintahan bukan kota bisnis dan perdagangan.
Proses pemindahan ibu kota ini, menurut Basuki, sudah dilakukan dengan kajian mendalam agar pemindahan ini tidak menjadi sia-sia. Pemerintah bahkan juga sudah mengkaji pengalaman 78 proses pemindahan ibu kota negara di seluruh dunia. “Canberra, Putrajaya dan Brasilia sebagai contoh, kita tidak ingin seperti itu,” katanya.
Menjawab pertanyaan wartawan soal desain bangunan, pihaknya akan melakukan diskusi lebih lanjut dengan para arsitek yang tergabung dalam Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). “Kita lagi mendiskusikan dengan IAI karena itu desain bangunan masa depan,” katanya.
Soal dana yang dibutuhakn untuk pembangunan ibu kota baru tersebut diperkirakan menelan sekitar Rp460 triliun, namun begitu pemerintah hanya menggunakan dana APBN sebesar 19 persen, sisanya dari hasil Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) 54 persen dan dari pihak swasta 26 persen. Keterlibatan swasta di sini menurutnya dalam bentuk investasi. “Misalnya investasi di air minum, kalau bendungan kita yang bikin,” katanya.
Basuki menuturkan dalam waktu dekat pemerintah akan meresmikan jalan tol Samarinda-Balikpapan pada pertengahan Oktober ini untuk mendukung keberadaan calon ibu kota penggani DKI Jakarta tersebut. Sementara peletakan batu pertama pembangunan jalan ibu kota direncanakan akan dimulai pertengahan tahun depan. “Itu target kami, yang pentingnya prasarana dasarnya dulu, aksesnya dulu yang dibangun,” katanya.
Muriani Emelda Isharyani, 39 tahun, mahasiswa Prodi Doktor Teknik Industri, Fakultas Teknik UGM dalam sesi tanya jawab, mengharapkan agar pemerintah juga memperhatikan risiko bencana banjir yang sering melanda kota Samarinda saat musim hujan tiba. Menurutnya, banjir tersebut erat kaitanya dengan dampak penambangan batu bara dan sawit yang dilakukan di sekitar area bukit Suharto. “Dari sisi lapangan pekerjaan kami senang dengan rencana pemindahan ibu kota ini, sebab setelah harga sawit dan batu bara jatuh, banyak pekerjaan yang berkurang, namun kami khawatir banjir, hujan tiga jam bisa selutut genangannya,” kata wanita asal Samarinda ini.
Menjawab pertanyaan mahasiswa tersebut, Basuki mengatakan banjir yang melanda Samarinda beberapa waktu lalu disebabkan saluran drainase yang kurang baik. Pihaknya akan memperhatikan hal itu agar tidak terjadi di wikayah Ibu Kota Negara yang baru. “Kejadian banjir di Samarinda bukan debit air tapi drainase kotanya, untuk ibu kota, kita desain prasarana jalan dan drainase untuk penduduk 1,5 juta sehingga tidak kena banjir,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)