![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/08/3108191567202173630086881-680x510.jpg)
RUU Pertanahan rencananya akan disahkan pada bulan September ini. Rancangan Undang-undang ini dimaksudkan untuk melengkapi UU Pokok Agraria Tahun 1960. Kemunculan UU ini nantinya diharapkan memberikan kepastian hukum soal pertanahan dan kawasan, keterbukaan investasi serta adanya sistem informasi pertanahan terpadu. Namun demikian, RUU mendapat masukan dan kritikan dari pakar hukum agraria dari Fakultas Hukum UGM yang menilai RUU ini belum berpihak pada masyarakat yang lemah, seperti petani, perempuan, dan masyarakat adat tapi berpihak ke pemilik modal yang diberikan berbagai kemudahan.
“RUU ini belum berpihak pada masyarakat yang lemah posisi tawarnya,” kata Guru Besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Maria SW., dalam Diskusi RUU Pertanahan di University Club UGM dalam rangka ATR/BPN Goes o Campus, Senin (2/8).
Menurut Maria, RUU ini tidak melengkapi pasal-pasal yang ada di UUPA, bahkan justru mereduksi. Ia mencontohkan dalam RUU ini tidak disebutkan hak bangsa seperti yang tertera dalam pasal 1 UU Pokok Agraria. Kehadiran RUU ini seharusnya meminimalkan disharmoni UU yang sudah ada dan tidak melanggar serta tidak tidak menghilangkan pasal di RUU Pokok Agraria.
“Tujuannya kan untuk melengkapi dan mencapai keadilan agraria, pemerataan akses dan kemanfaatan. Di RUU ini tidak mengatur hak bangsa meski negara punya hak mengatur dan mengolah, namun bertanggung jawab untuk bangsa,” katanya.
Maria mengatakan hampir di setiap pasal RUU ini menyebutkan tanah negara dan menteri berhak mengolah dan memanfaatkan tanah negara lewat aturan yang dibuatnya. Maria menganggap aturan soal menteri bisa mengatur, mengolah tanah negara dianggap sebagai bentuk moral hazard. Pasalnya, setiap menteri bisa diganti, bahkan nomenklatur kementerian bisa dihapus. Sebaliknya peraturan turunan dari UU harus diatur lewat peraturan pemerintah atau perpres.
“RUU ini bisa membuka peluang korupsi, bahkan kewenangan pelaksanaan tidak menyebut oleh siapa. Artinya objek yang diatur ada, dan subjek yang mengatur kok nggak ada,” paparnya.
Soal penyebutan syarat batas maksimal pengolahan tanah dan kawasan, menurut Maria, sangat tidak tepat. Penentuan batas maksimal ditentukan dari ukuran skala ekonomi, kebijakan strategis dan partisipasi masyarakat lebih luas yang menurutnya tidak tepat dan memihak ke pemilik modal.
“Misalnya boleh makai asal bayar pajak ini berpihak kepada siapa katanya untuk pemerataan. Seharusnya untuk pertanian tidak ada pembatasan,” katanya.
Maria berpendapat seharusnya RUU Pertanahanan ini bisa untuk mengakomodasi konflik agraria yang sering terjadi di berbagai daerah dan melakukan redistribusi lahan. Oleh karena itu, RUU ini perlu direvisi untuk kepentingan pemerataan ekonomi, ekologi dan sosial.
Sementara pakar Agraria UGM lainnya Prof. Dr. Nur Hasan Ismail menyebutkan pengaturan hak tanah ulayat bersifat ambigu karena tanah ulayat diakui, namun harus dilepas menjadi tanah negara. “Diakui haknya, namun salah satu ayat dihapus dengan cara setiap bagian hak ulayat diberikan perseroangan dan badan hukum dilepaskan menjadi tanah negara, dengan demikian tanah itu tidak ada lagi ini. Sangat ambigu, satu sisi diakui, namun pelan-pelan dihapus,” katanya.
Ia mengatakan adanya inkonsistensi internal dalam RUU ini dan sama sekali tidak menyinggung kepemilikan bersama hak atas tanah. “Harus ada tim khusus yang mencermati konsistensi pasal-pasal dalam RUU ini,” katanya.
Herman Khaeron, Ketua Komisi II sekaligus ketua panja RUU Pertanahan, mengatakan pembahasan RUU ini dilakukan secara maraton serta menghimpun masukan sivitas akademika kampus agar bisa mendapatkan manfaat lebih besar dari RUU ini. “Pembahasan sudah mencapai final,” katanya.
Sekjen Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), Himawan Arif, mengatakan hanya tertinggal 2 item saja yang akan dibahas dan didiskusikan lagi sebelum disahkan menjelang akhir September ini. “Presiden meminta agar sebelum periode DPR ini selesai, RUU sudah disahkan,” katanya.
Ia menjelaskan RUU ini disusun untuk memperkuat UUPA dan mengatasi berbagai permasalahan pertanahan, seperti persoalan ketimpangan lahan, sengketa pertanahan, konflik perbatasan antara kawasan hutan dan non hutan, kepastian hukum dan kemudahan berinvestasi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)