
Dampak revolusi industri secara langsung akan berpengaruh terhadap sektor pertanian di Indonesia. Revolusi industri yang berkembang semakin cepat menuntut adanya adaptasi di semua sektor perekonomian.
Implementasi industri 4.0 diharapkan usaha tani menjadi semakin efisien sehingga terjadi peningkatan produktivitas dan daya saing. Beberapa upaya sudah dilakukan melalui model dan inovasi di bidang pertanian, seperti pertanian vertikal, pertanian presisi dan pertanian pintar (smart farming).
Demikian pernyataan Dr. Rika Harini, S.Si., MP saat menyampaikan orasi ilmiah pada Dies ke-56 Fakultas Geografi UGM. Dosen Fakultas Geografi UGM ini menyampaikan pidato berjudul “Perspektif Geografi Terhadap Sektor Pertanian Indonesia pada Era Revolusi Industri 4.0”.
“Pemanfaatan sensor dan drone, alat analisis dan otomatisasi yang mendukung industri 4.0. Pemanfaatan Internet of Thing (IoT) saat ini marak dilakukan dengan smartphone untuk mengembangkan metode pertanian secara modern dalam pemantauan iklim dan cuaca, pengolahan lahan, pengembangan varietas baru, pasca panen maupun pemasaran,” ujarnya di Auditorium Merapi, Fakultas Geografi UGM, Senin (2/9).
Rika menuturkan sektor pertanian menjadi salah satu bagian dari 4 sektor ekonomi yang diharapkan pemerintah mampu bersaing di era revolusi industri 4.0 khususnya melalui sektor makanan dan minuman. Oleh karena itu, ketersediaan lahan pertanian sangat penting untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional.
Dengan demikian, implementasi program pertanian berkelanjutan penting dilakukan, selain untuk penyediaan pangan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Upaya peningkatan produksi di sektor pertanian ini perlu memperhatikan kuantitas dan kualitas.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Untuk itu, pembangunan pertanian dilakukan dengan berorientasi pada daya dukung ekosistem sehingga aspek keberlanjutan dapat dipertahankan dalam jangka yang panjang dengan risiko kerusakan seminimal mungkin.
Menurut Rika, era revolusi industri 4.0 saat ini khususnya di Indonesia belum identik dengan pertanian 4.0. Sebab, pertanian 4.0 mengandalkan robot, sensor, peta digital real time terkait kondisi air, hara tanah bahkan hama untuk aplikasi sumber air, pupuk dan pestisida dengan tepat, serta pemanfaatan lebih optimal energi matahari dan air laut untuk menghasilkan pangan.
“Beberapa hal yang dikembangkan berupa rekayasa genetika dengan edit gen tanaman, pembuatan bahan pangan berbasis ganggang sebagai pengganti tepung ikan. Petani di Indonesia sebagian besar merupakan petani kecil. Mereka seringkali tertinggal dengan adanya inovasi maupun penemuan teknologi karena lemahnya akses,” ucapnya.
Berdasarkan kondisi tersebut agar sektor pertanian mampu mendukung industri 4.0 maka perlu dilakukan beberapa upaya dari pemerintah berupa peningkatan petani di usia produktif, meningkatan pengetahuan dan teknologi informasi bagi petani. Selain itu, juga peningkatan peran petani dalam penentuan harga komoditas.
“Dalam konteks revolusi industri 4.0 peran ilmu geografi di bidang pertanian sangat banyak. Melalui teknologi informasi spasial segala informasi kegiatan pertanian dengan mudah dan cepat dapat dilakukan. Selain itu, model atau metode dalam riset yang berbasis ilmu geografi juga lebih memudahkan dalam mendukung permasalahan di bidang pertanian,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)