![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/09/0609191567763994346749743-766x510.jpg)
Sepanjang tahun 2010 hingga Agustus 2019, tercatat ada sebanyak 162 kasus tindak kekerasan di Provinsi Papua dan Papua Barat yang melibatkan warga sipil, aparat keamanan, dan kelompok kriminal bersenjata.
Pengajar Departemen Manajemen Kebijakan Publik UGM yang juga terlibat aktif dalam Gugus Tugas Papua UGM, Dr. Gabriel Lele, mengutarakan bahwa konflik yang terjadi di Papua merupakan pertemuan dari berbagai kepentingan yang berbeda.
“Papua hanya arena di mana konflik terjadi yang mempertemukan berbagai kepentingan,” tuturnya dalam Diskusi Papua dan Kebangsaan, Jumat (6/9) di Digilib Cafe FISIPOL UGM.
Dalam sesi diskusi ini, ia memaparkan data-data terkait kasus kekerasan di Papua yang menunjukkan bahwa jumlah korban tindak kekerasan pada tahun 2010 hingga Agustus 2019 mencapai 1.488 jiwa, 205 di antaranya meninggal dunia dan sisanya mengalami luka-luka. Sebagian besar kasus tindak kekerasan di Provinsi Papua maupun Papua Barat, imbuhnya, disebabkan oleh kelompok kriminal bersenjata.
Gabriel juga menyoroti berbagai persoalan yang terjadi di Papua, yang mungkin berkaitan dengan berkembangnya konflik. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah sangat gencar mengerjakan pembangunan di Papua, baik berupa jalan raya, jembatan, dan prasarana lainnya. Meski memberi pengaruh yang signifikan, pembangunan ini menurutnya belum mampu menjadikan Papua setara dengan daerah-daerah lain yang telah lebih dulu berkembang.
“Ada progres, ada perubahan signifikan dari tahun ke tahun, tapi kalau dibandingkan dengan dearah lain itu masih di bawah,” ucapnya
Menjawab pertanyaan yang kerap muncul terkait mengapa masih banyak terjadi konflik di Papua meski pembangunan dari pemerintah sudah begitu masif, ia memaparkan 3 tesis yang berbeda. Tesis pertama yang bersifat ideologis, ujarnya, adalah pendapat yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara pembangunan dengan konflik. Sebesar apa pun pembangunan, kaum ideologis menyatakan ingin tetap memisahkan diri.
“Ketika pemerintah melakukan pembangunan, itu dianggap akan memberikan potential loss of support, maka kita bisa melihat orang yang melakukan pembangunan itu justru diserang,” tuturnya.
Tesis kedua yang ia sebutkan adalah dari kaum developmentalis yang menyatakan bahwa pesatnya pembangunan gagal menjawab kebutuhan masyarakat karena yang menikmati semakin terbukanya isolasi justru bukan orang asli Papua.
Sementara itu, tesis ketiga melihat dari sudut pandang ekonomi politik, di mana muncul anggapan bahwa ada bisnis konflik di balik peristiwa-peristiwa kekerasan yang terjadi.
Senada dengan Gabriel, Dosen Jurusan Hubungan Internasional, Prof. Dr. Mohtar Mas’oed, menyebut ketimpangan antar pelaku ekonomi sebagai salah satu kemungkinan penyebab munculnya konflik. Kerusakan akibat proses akumulasi kapital yang tidak peka terhadap kondisi lokal, ujarnya, juga tampak dalam kompetisi tidak sehat antara pelaku usaha besar versus usaha kecil-mikro.
“Ketegangan seperti ini mudah sekali mendorong terjadinya konflik, kalau ada peluangnya,” ungkapnya.
Subsidiaritas dan solidaritas ia anggap menjadi dua jalan yang harus dilakukan untuk mengatasi konflik yang terus bergulir. Pemerintah pusat, menurutnya, perlu menjalankan fungsi subsider, atau hanya mengurusi fungsi-fungsi yang tidak bisa dijalankan oleh pemerintah daerah, dan dengan demikian meningkatkan peluang warga negara untuk mengembangkan kepentingan serta terlibat dalam urusan publik. Di samping itu, di kalangan warga negara, perlu ada praktik solidaritas dengan berpegang pada Bhinneka Tunggal Ika dan bukan homogenitas.
“Kesatuan nasional sangat esensial demi mempertahankan masyarakat yang harmonis dan fungsional,” ucapnya.
Yenny Wahid Datangi Kantor GTP UGM
Pada Jumat (6/9) sore tersebut, Yenny Wahid juga menyambangi kantor Gugus Tugas Papua UGM. Tujuan kedatangannya untuk berdiskusi terkait perkembangan isu Papua saat ini. Kesempatan tersebut juga sekaligus menjadi inisiasi awal kerja sama antara GTP UGM dengan Wahid Institute untuk bersinergi dan berkolaborasi mewujudkan Papua yang makin mengindonesia, dan Indonesia yang lebih kuat dan hangat merangkul Papua.
Kedatangan Yenny Wahid disambut langsung oleh Ketua GTP UGM Bambang Purwoko, Sekretaris Dr. Gabriel Lele, dan para peneliti GTP UGM dari berbagai disiplin keilmuan.
Dalam diskusi intensif yang berlangsung hampir dua jam tersebut telah dibahas beberapa hal yang menjadi fokus perhatian bersama, diantaranya GTP UGM bersama Wahid Institute mendorong semua pihak untuk turut serta mewujudkan perdamaian di seluruh Indonesia. Terkait dengan beredarnya berbagai informasi menyesatkan yang menimbulkan rasa tidak aman bagi mahasiswa dan pelajar Papua, sangat penting bagi pemerintah dan aparat keamanan beserta eleman masyarakat lain untu membuat deklarasi bersama untuk memberikan jaminan keamanan bagi semua warga Papua yang berada di luar Papua.
Baik GTP maupun Wahid Institute juga mendorong agar permasalahan yang terjadi di Papua diselesaikan dengan pendekatan yang lebih komprehensif. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan segenap pemangku kepentingan harus memiliki kesepakatan tentang road-map (peta jalan) penyelesaian permasalahan Papua yang meliputi semua aspek dan melibatkan semua pelaku. (Humas UGM/Gloria)