
Rumah Sakit (RS) Akademik Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama Akademic Health System (AHS) UGM dan Pokja Genetik FK-KMK UGM menggelar seminar psiko edukasi dan tata laksana rehabilitative penyakit DMD/BMD. Seminar yang berlangsung di RSA UGM, Sabtu (7/9) diisi sharing ilmu, pengalaman dan motivasi dari keluarga, penderita dan masyarakat luas, serta peresmian pembentukan komunitas DMD/BMD di Indonesia.
Direktur Utama RS Akademik UGM, dr. Arief Budiyanto, Ph.D, Sp.KK (K)., mengatakan penyelenggaraan kegiatan ini diharapkan sebagai wadah saling bersosialisasi dan bertukar sharing informasi serta pengalaman antara dokter dengan orang tua pasien, dan bagaimana pengalaman orang tua pasien dalam mendukung manajemen terapi pasien DMD/BMD.
“Edukasi mengenai penyakit DMD/BMD ini perlu secara kontinu dipaparkan. Terapi genetik pada DMD dengan mutasi tertentu saat ini sudah di acc oleh FDA dan EMA, lembaga BPOM AS dan Eropa,” kata Arief.
Menurutnya, penyakit distrofi otot duchenne dan Becker (Duchenne Muscular Dystrophy-DMD dan Backer Muscular Dystrophy-BMD) merupakan penyakit otot turunan yang tersering memengaruhi 1 per 3.500 kelahiran bayi laki-laki. Tanpa penanganan yang baik, pasien akan meninggal akibat gagal napas atau gagal jantung pada dekade kedua. Serangan DMD ini dimulai ketika anak berusia 3-5 tahun.
Pendiri Yayasan Peduli Distrofi Muskular Indonesia, Prof. dr. Sunartini, Ph.D, Sp.A (K)., mengatakan misi dari yayasan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan dari keluarga serta masyarakat tentang DMD dan muskular distrofi pada umumnya. Untuk menangani gangguan penyakit ini perlu pemberdayaan dari keluarga dan masyarakat termasuk profesional, tidak hanya medis tetapi juga perawat, guru, dan pekerja sosial.
Dengan demikian, akan banyak pihak-pihak yang terlibat di situ, sebab usia harapan hidup dari DMD sekitar 18 – 20 tahun dan dengan terapi kortikosteroid bisa mencapai 25 tahun.
“Kita berharap dari DMD bisa menjadi BMD karena jika BMD usia harapan hidup bisa mencapai 40 tahun bahkan yang terakhir dengan sinterapi sampai 60 tahun. Kita berharap mereka bisa memiliki kualitas hidup yang lebih baik,” ucap Sunartini.
Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan RSA UGM, Prof. Dr. dr. Elisabeth Siti Herini, Sp.A(K)., mengakui pada awalnya keluarga sulit menerima kondisi ini dan tidak mudah untuk memberikan penjelasan mengenai penyakitnya dengan segala kemungkinan-kemungkinnya di masa yang akan datang. Menurutnya, butuh waktu untuk bisa menerima dari keluarga sehingga bisa diberikan penjelasan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
“Pengetahuan mengenai penyakit dan pemeriksaan belum banyak dimengerti masyarakat Indonesia, khususnya pasien dan keluarga yang dicurigai menderita DMD/BMD. Pemeriksaan mutasi gen distrofi, tata laksana yang sesuai serta pengembangan penerapan terapi target diharapkan mampu memperpanjang harapan hidup pasien,” katanya.
Maxime Arras, pasien DMD yang mendapat terapi genetik, menuturkan untuk menjalani hidup ini prinsipnya tetap hidup positif dan bisa ajak teman jalan-jalan. “Meski sakit tapi saya ingin mencapai cita-cita saya, saya tetap ingin jalan-jalan, tetap ingin berenang dan tetap ingin hidup bahagia,” tutur mahasiswa S1 Ekonomi di Belgia ini.
Sementara itu, Fahmi Husaen Pasien DMD yang juga Mahasiswa Sekolah Vokasi UGM menyatakan meski mengidap penyakit ini ia tetap bersikap menerima kondisi dengan selalu bersyukur pada Tuhan. Sebab, dengan bersikap seperti itu ia bisa menjalani hidup dan meraih prestasi.
“Dalam hidup ini saya ingin memiliki tujuan dan mimpi yang kuat. Oleh karena itu, saya akan lakukan semuanya supaya mimpi itu bisa tercapai,” ujar Fahmi, Mahasiswa S1 Teknik Komputer UGM. (Humas UGM/ Agung).