Terpilihnya lima Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk periode 2019-2023 dinilai membuat masa depan pemberantasan korupsi jadi suram. Sebab, kelima pimpinan KPK tersebut dianggap tidak ada satupun yang menjanjikan dalam pemberantasan korupsi, termasuk penindakan kasus-kasus besar.
“Yang menjadi fokus penindakan KPK itu adalah pertama penegak hukum, yang kedua penyelengara negara. Tapi hal ini tidak muncul di fit and proper test yang disampaikan capim. Jadi, menurut kami hampir semuanya, ada sepuluh capim, tidak satupun yang kemudian memberikan komitmen yang jelas mengenai pemberantasan korupsi atau penindakan terhadap kasus-kasus besar,” ungkap Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Oce Madril, di Kantor Pukat FH UGM Jumat sore (13/9/2019).
Menurut Oce, rata-rata capim menjanjikan sebaliknya yakni KPK ke depan akan ramah terhadap korupsi yang dilakukan penyelenggara negara atau penegak hukum. Sebab, KPK ke depan tidak akan menggunakan cara-cara Operasi Tangkap Tangan (OTT).
KPK baru nanti khusus pada upaya pencegahan yang kalau ditafsirkan upaya pencegahan itu hanya berupa sosialisasi antikorupsi. Dengan demikian, lanjutnya, pemilihan komisioner dengan cara yang berbelit-belit dan panjang di ujungnya hanya akan melakukan fokus pada tugas-tugas sosialisasi sehingga dianggap percuma.
“Saya kira ini percuma kita memilih komisioner yang kemudian mereka hanya akan melakukan tugas-tugas sosialisasi. Memang sosialisasi penting tapi akan jauh lebih penting penegakan karena lembaga (KPK) ini dibentuk untuk menegakkan hukum,” tandasnya.
Ditambahkan Oce, semua pimpinan KPK yang baru sudah memiliki komitmen yang relatif sama. Mereka tidak mau masuk pada wilayah penegakan hukum maupun pada wilayah penindakan.
Apalagi, mereka secara terang benderang mengatakan OTT adalah salah satu tindakan yang tidak akan mereka lakukan karena salah. Hal itu sama saja KPK baru nanti tidak membenarkan apa yang dilakukan penyidik dan penyelidik KPK.
“Ini berbahaya karena salah satu mandat kepada KPK adalah melakukan pengungkapan kasus suap. Salah satu caranya hanya dengan operasi tangkap tangan karena suap tidak mungkin bila tidak dengan OTT,” ungkapnya.
Pimpinan KPK yang baru nanti, lanjut Oce, akan bermain aman karena yakin OTT keliru. Mereka ke depan hanya akan menyentuh wilayah-wilayah sebetulnya bukan pemberantasan korupsi tapi lebih kepada wilayah-wilayah yang administratif.
Dengan adanya revisi UU KPK maka kewenangan KPK dalam banyak hal terutama dalam penindakan perkara itu akan banyak dilumpuhkan dan dibatasi.
Oleh karena itu, masyarakat sipil harus mengawal agar perubahan UU KPK tidak terjadi. Sebab, RUU KPK itu menjadi pintu masuk melumpuhkan kewenangan KPK. Dengen demikian, kalaupun pimpinan KPK yang masuk ke lembaga negara tersebut merupakan pimpinan yang berintegritas dan berani pun akan sulit bekerja maksimal karena undang-undang KPK-nya sudah berubah.
“Karena di undang-undang perubahan KPK itu ada dewan pengawas yang nanti akan membatasi KPK dalam banyak hal. Penolakan terhadap perubahan undang-undang KPK itu sebetulnya adalah jalan terakhir yang harus kita lakukan untuk menjaga KPK tetap kuat dan pemberantasan korupsi tetap kuat,” katanya. (Humas UGM/ Agung)