![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/09/18091915687935491705454491-766x510.jpg)
Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa 40 persen industri kreatif di Yogyakarta terletak pada sektor pangan dan minuman, disusul kerajinan sebesar 19 persen, dan sektor-sektor industri kreatif lainnya misalnya desain produk, film dan animasi, kriya, fashion, serta game dan aplikasi dengan melibatkan sekitar 90 ribu unit IKM di Yogyakarta.
Sementara itu, untuk ekspor industri kreatif, tercatat sebanyak 1,26 persen. Komoditas yang diekspor antara lain pakaian jadi tekstil, mebel, sarung tangan, kerajinan kayu, dan lain-lain dengan tujuan negara ekspor Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat.
Data-data tersebut memperlihatkan masih banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi industri kreatif di Yogyakarta. Agar industri kreatif DIY lebih baik tentu diperlukan sinergi antar pelaku usaha dan pemerintah yang berfungsi sebagai katalis.
Rendro Prasetyo, Penyuluh Perindustrian dan Perdagangan Ahli Pertama Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Yogyakarta, mengatakan masih banyak kendala untuk mengembangkan industri kreatif di Yogyakarta. Masih ditemui ketidakjelasan urusan ekonomi kreatif di tingkat pemerintahan.
” Di tingkat pemerintahan atau organisasi perangkat daerah (OPD), pembagian urusan ekonomi kreatif itu belum jelas, misal dinas perindustrian dan perdagangan dan dinas UMKM dan Koperasi. Belum lagi, dinas pariwisata dengan dinas kebudayaan. Belum jelas pembagian urusannya,” katanya saat berbicara dalam Jogja Creative Industry Forum, di Digilib Fisipol UGM, Rabu (18/9).
Selain itu, terkait database industri kreatif dengan kebijakannya yang belum jelas juga. Ditambah masih banyaknya permasalahan di IKM (industri kecil menengah) karena IKM mudah puas sehingga tidak upgrade diri, misalnya IKM masih memiliki banyak permasalahan seperti akses bahan baku tetapi tidak mengetahui proses impornya.
“Sebagian masih takut melakukan ekspor karena takut dibohongi bahkan tidak tahu cara melakukan ekspor, lalu masalah pembiayaan (modal), serta masalah perijinan dan kelembagaan, misal satu orang bisa merangkap direktur, marketing, HRD. Satu orang untuk seluruh jabatan,” ucapnya.
Meski begitu, Rendro menyebut peluang industri kreatif di Yogyakarta sangat potensial karena memiliki SDM yang unggul. Mereka yang luar daerah mencari instruktur buat desain saja ke Yogyakarta, sebab banyak komunitas kreatif yang aktif seperti Sleman Creative Space.
“Belum dukungan dari perguruan tinggi yang banyak di Jogja, lalu dukungan sekolah menengah kejuruan. Dukungan fasilitas pemerintah termasuk BUMN misal di Sagan ada Rumah Kreatif BRI. Belum lagi image Yogyakarta sebagai salah satu kiblat industri kreatif,” imbuhnya.
Rendro juga menyebut pasar bebas ASEAN bisa menjadi peluang bagi negara yang siap. Oleh karena itu, pihaknya terus melakukan pemberdayaan kepada IKM agar yang sudah ada bisa diberikan bantuan agar lebih berkembang, misal pelatihan dan pendampingan serta perlindungan, seperti permasalahan legal yang masih kurang diperhatikan, HAKI, hak paten, merek, dan lain sebagainya.
Pembicara lain, Drs Prijo Mustiko, Anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta dan Jaringan Masyarakat Budaya Nusantara, mengatakan antara budaya dan ekonomi kreatif di Yogyakarta seperti dua sisi mata uang sekaligus sebuah ancaman. Menurutnya, ekonomi kreatif jika tidak berbasis budaya tidak akan bertahan lama.
“Budaya berkaitan dengan ekonomi kreatif,” katanya.
Terkait potensi budaya, mengutip penulis kenamaan Michael Smithies, ia mengatakan Yogyakarta merupakan jantung budaya Indonesia. Yogyakarta sebagai ibu kota kebudayaan Indonesia dan dua tahun ini didaulat sebagai ibu kota kebudayaan ASEAN.
“Meski sudah diakui, tapi belum menunjukkan kebesarannya misalnya mengadakan Festival Ramayana Asia Tenggara. Kalau dari latar belakang sejarah, era Mataram Kuno dan Mataram Islam itu menjadi kerajaan terbesar setelah Sriwijaya dan Majapahit. Artinya, dari dulu pusat peradaban sudah tumbuh di sini,” tambahnya.
Prijo mengyebut tahun 2018, Yogyakarta memiliki budaya benda sejumlah 2.310 situs. Budaya tak benda sebanyak 2.018, seni pertunjukan sebanyak 6.420, desa budaya sebanyak 56, seniman/budayawan sebanyak 504, dan lembaga budaya sebanyak 78 buah.
Yogyakarta dari dulu menjadi pusat budaya dan kreatif. Oleh karena itu, ia menyarankan agar digelar lagi pertunjukan Dramatari Mahakarya seperti pagelaran wayang orang Kraton Yogyakarta yang merupakan acara ritual negara dulu dengan dukungan ratusan pemain, bahkan pagelaran berlangsung 3 hari 3 malam.
“Tentu berdampak ekonominya, tumbuh industri batik, topeng, asesori, dan kostum wayang. Perlu dicoba menggelar kembali dramatari mahakarya itu,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)