![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/09/1909191568880393508857014-766x510.jpg)
Perubahan lingkungan bisnis akhir-akhir ini diwarnai dengan munculnya berbagai perusahaan rintisan atau startup yang memanfaatkan teknologi untuk menunjang bisnisnya.
Meski perusahaan teknologi, baik startup maupun fintech, menarik minat berbagai pelanggan, investor, dan pelaku baru, perusahaan ini dapat dikatakan memiliki risiko yang cukup besar dilihat dari berbagai aspek.
“Bisnis digital merupakan tren di kalangan masyarakat, namun terdapat risiko yang tidak disadari oleh masyarakat dan juga investor, terutama terkait penilaian perusahaan semacam ini,” ucap Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Prof. Agus Sartono, MBA., Ph.D.
Dalam orasi ilmiah yang disampaikan pada Rapat Senat Terbuka dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-64 FEB UGM, Kamis (19/9), ia mengulas tren dan perubahan lanskap keuangan berkaitan dengan bisnis digital.
Guru Besar Departemen Manajemen ini menyebut salah satu survei yang dilakukan Deloitte pada tahun 2018 yang mencatat tingkat pertumbuhan dari 500 perusahaan teknologi di kawasan Asia Pasifik, yaitu rata-rata pertumbuhan pendapatan untuk 10 teratas mencapai 17,314 persen dengan bidang usaha dominan di area software, diikuti media dan hardware.
Tidak seperti perusahaan umumnya, pertumbuhan yang tinggi pada perusahaan-perusahaan tersebut sering kali dipicu oleh tingginya pertumbuhan pengguna atau pelanggan yang di periode akan datang dapat dimonetisasi untuk mendapat estimasi aliran kas dan nilai perusahaan.
Pertumbuhan yang sangat tinggi, ujarnya, dalam berbagai konsep ekonomi dan keuangan tidak akan dapat dipertahankan terus menerus karena berbagai hal seperti munculnya pemain baru atau pasar menjadi jenuh.
Perusahaan teknologi, startup ataupun fintech menurutnya menghadapi tantangan dalam mempertahankan dan menaikkan jumlah pelanggan, mengingat hal tersebut sangat terkait dengan kinerja keuangan.
“Pelanggan atau pengguna produk perusahaan tersebut pada saat yang sama dapat menggunakan produk perusahaan kompetitor yang menawarkan atribut mirip. Penting untuk mewujudkan persepsi produk yang bermanfaat, aandal, dan dapat dipercaya,” terangnya.
Kemunculan perusahaan digital dan kemudian diikuti dengan kejatuhan industri, jelasnya, pernah terjadi sebelumnya. Pada akhir 1990-an bermunculan berbagai perusahaan rintisan yang saat itu dikenal dengan perusahaan dotcom. Ada banyak perusahaan sejenis saat itu yang bangkrut setelah sempat go public dan mendapatkan modal jutaan dolar, yang digambarkan dengan istilah dotcom buble yang akhirnya pecah di akhir tahun 2000.
Perusahaan ini memiliki karakteristik yang sama, yaitu menarik dana dari para investor di bursa saham dengan menjanjikan bahwa di masa depan nilai perusahaan akan semakin bertumbuh seiring dengan pertumbuhan penjualan, jumlah user, jumlah visitor ke gerai online, dan user review.
Fenomena kemunculan dan perkembangan nilai startup, ujarnya, bisa jadi tidak merupakan gelembung yang kemudian akan pecah. Namun demikian, pertumbuhan nilai perusahaan-perusahaan rintisan yang dalam waktu pendek telah menjadi unicorn atau bahkan decacorn tanpa dilandasi dengan kinerja fundamental yang kokoh patut diwaspadai, serta menjadi bahan untuk diteliti dan dipelajari sehingga peristiwa seperti pecahnya gelembung dotcom di tahun 2000 tidak terulang.
“Konsep penilaian bisnis yang diajarkan di sekolah bisnis nampaknya perlu dikaji lagi, apakah masih sesuai dan dapat diterapkan untuk menilai perusahaan-perusahaan teknologi,” ucap Agus.
Di samping orasi ilmiah, rangkaian peringatan Dies Natalis FEB UGM yang mengusung tema “Bersatu Meneguhkan Mutu” diisi dengan berbagai kegiatan. Dekan FEB UGM, Eko Suwardi, M.Sc., Ph.D., dalam laporan yang disampaikan pada Rapat Senat Terbuka memaparkan berbagai perkembangan serta capaian fakultas ini di dalam setahun terakhir, juga rencana strategis dan tantangan ke depan.
“Pada tahun 2020 fokus kita adalah penelitian dan pengajaran yang berkualitas, mengoptimalkan jejaring internasional FEB untuk memfasilitasi mobilitas akademik dosen, tendik, dan mahasiswa,” ungkapnya. (Humas UGM/Gloria)