![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/09/2709191569560453453774220-766x510.jpg)
Industri kimia berbasis metanol di tanah air dalam dua puluh tahun terakhir tidak mengalami perkembangan berarti. Padahal, keberadaan industri ini bisa menopang pertumbuhan industri lainnya. Namun begitu, bahan baku industri petrokimia ini masih impor. Oleh karen itu, pemerintah diminta untuk meningkatkan investasi di sektor ini sekaligus menopang suplai gas bagi keberlanjutan industri ini di tanah air.
Hal itu mengemuka dalam seminar Industri Kimia Berbasis Metanol di ruang Bulaksumur Universiry Club, Jumat (27/9). Seminar yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik UGM, Keluarga Alumni Fakultas Teknik UGM, Kadin, Persatuan Insinyur Indonesia (PII) ini dihadiri oleh Sekjend Kementerian Perindustrian RI, Achmad Sigit Dwiwahjono, Rektor UGM, Prof. Panut Mulyono, dan Dekan FT UGM, Prof. Nizam serta Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian KADIN Indonesia, Johnny Darmawan.
Ketua Katgama sekaligus Direktur General Affair PT. Kaltim Methanol, Ir. Agus Prayitno, mengatakan selama dua puluh tahun terakhir industri petrokimia di tanah air jalan di tempat. “Sejak 1998 industri kimia berjalan di tempat,” kata Agus kepada wartawan.
Ia mengharapkan agar pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan sekaligus membuka peluang investasi sebesar-sebesarnya di bidang industri ini sehingga akan bisa berkembang kembali.
Hal senada juga disampaikan oleh Johnny Darmawan. Menurutnya, keberadaan industri kimia berbasis metanol mampu menopang pertumbuhan ekonomi dan mengatasi pengangguran. Kondisi sekarang ini bahan baku industri metanol mencapai 5,6 juta ton dengan tingkat produksi 2,4 juta ton. “Sekitar 53 persen masih impor,” ujarnya.
Ia menyebutkan jumlah impor tersebut nilainya bisa mencapai Rp174 triliun sementara kebutuhan akan produk metanol dan turunannya setiap tahun makin meningkat. Apabila tidak diatasi maka impor bahan baku industri kimia ini makin meningkat dan berdampak pada neraca perdagangan RI yang terus mengalami defisit. “Kepastian dan keberpihakan pemerintah sangat diperlukan agar kita bisa bersaing di pasar domestik dan ekspor sehingga memberi nilai tambah bagi perekonomian,” katanya.
Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Sc., Ph.D., mengatakan pembangunan industrialisasi di tanah air menjadi sebuah keniscayaan apabila pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya. Ia mencontohkan keberhasilan negara Tiongkok yang berhasil membangun negara industri dengan memproduksi semua produk kebutuhan penduduk dunia.”Salah satu jalannya negara harus mampu menarik investasi sebesar-besarnya dan tugas pemerintah membuat deregulasi untuk menarik para investor,” katanya.
Achmad Sigit Dwiwahjono mengakui bahwa industri metanol bisa mendorong perkembangan industri kimia yang bergerak di sektor hilir. Menurutnya, industri hilir yang mengolah turunan dari industri kimia ini akan mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak daripada di sektor hulu. Oleh karena itu, pemerintah akan memberikan fasilitas insentif pajak berupa tax holiday dan tax allowance bagi industri yang mampu mendorong tumbuhnya industri baru, seperti industri kimia, tekstil dan sebagainya.
Ketergantungan industri kimia berbasis metanol terhadap bahan baku migas cukup besar. Untuk menopang bahan baku ini mereka mengandalkan impor. Dalam tiga tahun terakhir, kata Sigit, pihaknya aktif mendorong industri dalam negeri mendirikan pabrik yang mampu mengolah batubara menjadi gas dan produk petrokimia. Menurutnya, di Tiongkok sudah ada 40-an industri pengolahan batubara menjadi bahan baku petrokimia. “Meski biayanya mahal, namun 3-4 tahun kita targetkan sudah ada yang mendirikan,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)