![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/10/0710191570420256922872816.jpg)
Pengembangan pelabuhan di daerah pantai yang memiliki laju transpor sedimen pantai yang jauh, perlu mendapat kajian dari pemerintah pusat dan daerah. Sebab, tidak ada data gelombang yang memadai di Indonesia, terutama untuk data jangka panjang. Kondisi ini akan menyebabkan ketidakakuratan dalam memprediksi naik dan turunnya gelombang yang mungkin mengakibatkan tidak akuratnya perubahan garis pantai atau penilaian tingkat erosi dan sedimentasi
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Perencanaan dan Manajemen Pelabuhan yang berlangsung di ruang seminar Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Senin (7/10). Diskusi bekerja sama dengan Tim Peningkatan Reputasi UGM menuju World Class University (WCU UGM) dan mitra Senior Experten Services (SES) dari Jerman ini menghadirkan pakar tranportasi dari Jerman Franz Horberg, yang memiliki pengalaman lebih dari 40 tahun sebagai Master Mariner / Transport Economist. Selanjutnya , Prof. Nur Yuwono, Prof. Bambang Triatmodjo dan Prof. Radianta Triatmaja, ketiganya pengajar pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL) FT UGM, dengan moderator Hengki Purwoto, M.A dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM sekaligus peneliti Pustral.
Nur Yuwono mengaku menemukan banyak kasus erosi dan sedimentasi beberapa pelabuhan di Indonesia. Ia mencontohkan pelabuhan Pulau Baai Bengkulu yang dibangun tahun 1982 yang saat ini kolam pelabuhannya mengalami sedimentasi parah sebesar 600.000 m3per tahun. “Saat ini tidak dapat dipergunakan lagi,” katanya.
Lalu, pelabuhan ikan Tanjung Adikarto di Kulonprogo, kata Nur Yowono, juga mengalami sedimentasi parah, dengan yang sedimentasi sebesar 731.000 m3 per tahun dari arah barat dan 1.024.300 m3 per tahun dari arah timur.
Untuk mengatasi sedimentasi dan erosi dari struktur pantai selama ini mengandalkan pemecah gelombang, namun konsep tersebut belum sepenuhnya diterima pemda karena biaya pengoperasian dan pemeliharaan yang relatif mahal. Apalagi, tidak ada peraturan untuk mendukung metode “sand by passing” tersebut, “Beberapa peraturan justru melemahkan metode ini,” katanya.
Prof. Radianta Triatmaja mengatakan desain pemecah gelombang sangat mahal, bahkan desainnya memengaruhi dalam hal kapasitas layanan, efisiensi, serta biaya operasi dan pemeliharaan pelabuhan. Oleh karena itu, keberadaan pemecah gelombang dalam perencanaan pelabuhan harus dipertimbangkan secara serius untuk mengoptimalkan biaya pengelolaan pelabuhan. “Untuk berfungsi optimal, diperlukan desain, konstruksi, dan pemeliharaan pemecah gelombang yang tepat,” katanya.
Sementara Franz Horberg dalam sesi diskusi memaparkan pentingnya memahami keberlanjutan sebuah pelabuhan agar dapat beroperasional dalam jangka panjang dengan memperhatikan analisis permintaan pelabuhan, perencanaan fasilitas, kebutuhan investasi, analisis finansial, perencanaan bisnis dan strategi, optimasi operasi, serta pengaturan kelembagaan di pelabuhan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)