Candi Borobudur telah mengalami pemugaran dua kali sejak pertama kali dibangun sekitar abad VII-IX Masehi, yakni pada periode tahun 1907-1911 dan tahun 1973-1983. Pemugaran yang membuatnya menjadi sekarang ini tersebut mendatangkan banyak manfaat sekaligus masalah.
Manfaat hadir dari posisinya sebagai destinasi wisata yang tiap tahun mendatangkan jutaan wisatawan, baik lokal maupun manca negara. Bahkan, dalam pidato nota keuangan 2020 Presiden mencanangkan Candi Borobudur akan dijadikan destinasi wisata super prioritas bersama dengan Danau Toba, Labuan Bajo, dan Mandalika. Di sisi lain, akibat menjadi destinasi wisata tersebut juga mendatangkan permasalahan yakni dalam hal konservasinya.
Atas dasar hal tersebut, Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM mengangkat topik “Reorganisasi Pengelolaan Kawasan Candi Borobudur” pada Seminar Series Kepariwasataan pada Senin (30/9) lalu di Ruang Pertemuan Puspar UGM. Mereka mendatangkan Drs. Marsis Sutopo, M.Si., selaku Anggota Tim Cagar Budaya Nasional untuk menjadi pembicara. Topik tersebut diangkat bertujuan untuk mencari tata kelola seperti apa yang dapat mengakomodasi keseimbangan antara kepentingan pelestarian dan pariwisata.
Marsis memaparkan beberapa masalah yang kini terjadi di Candi Borobudur. Hal tersebut antara lain terkait dengan daya tampung yang terbatas, wisatawan terkakumulasi hanya di beberapa zona yang dalam jangka panjang mengancam kelestarian candi hingga candi lain sekitar kawasannya yang belum dikelola secara optimal.
Marsis menyebut bahwa Candi Borobudur kini membutuhkan pengelolaan terpadu dan sinergi antara berbagai pihak, baik Kemendikbud, BUMN, serta pemerintah daerah. Pengelolaan tersebut tentunya harus mempertimbangkan keseimbangan antara aspek pariwisata dan pelestarian. Untuk itu ia menyarankan pengelolaan satu atap.
“Dengan pengelolaan satu atap maka pelestarian dan pemanfaatan pariwisata dari Kawasan Strategis Nasional (KSN) Borobudur dapat seimbang. Satu manajemen tersebut yang juga di bawah pemerintah nasional langsung sehingga proses pengelolaannya dapat dijamin oleh undang-undang,” ujarnya.
Selain itu, Marsis juga menyarankan agar beberapa prinsip pengelolaan dari KSN Borobudur ini memegang prinsip cultural landscape atau bersatu dan terikat dengan lingkungan budayanya. Pelestarian tersebut meliputi pelindungan, pengembangan, serta pemanfaatan yang untuk dan oleh semua. “Dengan demikian manfaat akan didapat oleh semuanya pula,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)