Yogya, KU
Setiap tahun sekitar 610 ribu anak di seluruh dunia meninggal karena serangan rotavirus. Di Indonesia sendiri diperkirakan 10 ribu yang meninggal akibat virus tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh Prof. Dr. Yati Sunarto, Direktur Pusat Clinical Epidemiologi dan Biostatika dari Fakultas Kedokteran UGM, Senin (3/3) kepada wartawan dalam rangka sosilisasi Symposium dan Workshop ‘Diare Rotavirus di Indonesia:Tantangan dan Harapan’.
“Sekitar 54% dari seluruh kasus diare diakibatkan oleh virus ini, 14% oleh bakteri dan sisanya karena penyabab tidak dikenal yang biasanya terjadi di luar usus,†ujarnya.
Menurut Yati, penemuan ini berdasarkan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh 6 rumah sakit di Indonesia, yakni RS Ciptomangunkusumo Jakarta, RS Moh Hussein Palembang, RS Hasan Sadikin Bandung, RS Sanglah Denpasar, RS Mataram dan RS Sardjito Yogyakarta. Penelitian itu baru kita review untuk kita publikasikan Journal of Inferctions Diseases.
Lebih lanjut dikatakan Yati, penelitian tersebut juga menunjukkan, serangan rotavirus ini biasa terjadi pada anak di bawah lima tahun. “Namun, anak-anak yang mendapat Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif hingga enam bulan ternyata memiliki kekebalan yang lebih terhadap virus yang berasal dari tinja tersebut,†tegasnya seraya menambahkan hendaknya para ibu selalu memberikan ASI eksklusif pada bayinya.
Menurut Yati, rotavirus berasal dari tinja yang kemudian masuk ke tubuh melalui oral. Hal ini terjadi misalnya ketika orang tua yang tangannya terkontaminasi rotavirus memberi makanan pada anak. Selain itu penularan juga bisa terjadi dengan kontak langsung dengan orang yang terjangkit rotavirus.
“Ada juga pendapat yang mengatakan penularan melalui udara. Tetapi itu masih diperdebatkan,†tambahnya.
Dikatakan Yati, diare akibat Rotavirus menyebabkan anak mengalami muntah tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan diare yang disebabkan bakteri. Sehingga, cairan semakin cepat berkurang dan menjadikan anak dalam kondisi akut.
“Bahkan pemberian oralit tidak efektif karena cairan yang keluar terlalu banyak dan cepat. Pemberian antibiotic juga tidak ada gunanya karena virus tidak mati oleh antibiotik,†tambahnya.
Diakui Yati, menangani pasien yang terkena rotavirus ini masih cukup sulit, karena terbatasnya vaksin di dunia. Bahkan di Indonesia sampai saat ini belum ada vaksin sama sekali. Diungkapkan, di dunia tercatat baru tiga kali ada temuan vaksin Rotavirus. Vaksin pertama ditemukan pada 1998 yang bernama bovine. Namun vaksin itu kemudian ditarik karena ada kasus 1 dari 10 ribu bayi yang mendapat vaksin tersebut mengalami ganguan penyumbatan usus. Baru pada 2006 lalu dua vaksin rotavirus resmi dikeluarkan yakni Rotarix dan Rotateq yang sejauh ini belum ditemukan efek sampingnya.
“Kedua vaksin itu belum beredar di Indonesia karena implementasi vaksin baru dalam suatu program nasional tidaklah mudah,†ujar Yati.
Toh begitu, Indonesia saat ini tengah mengembangkan vaksin RV3 dengan bekerjasama dengan Melbourne University, UGM dan Bio Farma. Diharapkan vaksin ini bisa segera berhasil dibuat agar penanggulangan rotavirus bisa lebih mudah dilakukan.
Di Indonesia sendiri, rotavirus pertama kali ditemukan Yati pada sekitar 1973 dengan empat jenis yakni G1, G2,G3, dan G4. Namun pada tahun 2000 ditemukan jenis baru yang diberi nama G5.
“Untungnya Rotavirus di Indonesia sama dengan rotavirus di seluruh dunia sehingga penangannya tidak berbeda,†katanya lagi. (Humas UGM/Gusti Grehenson)