Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki luasan lahan basah cukup besar dan diperkirakan mencapai 30,3 juta ha. Meski demikian, perubahan penggunaan lahan serta perubahan iklim global menjadi ancaman tersendiri bagi keberadaan lahan ini.
Guru Besar Fakultas Geografi UGM, Prof. Suratman, menyebut Indonesia saat ini berada pada kondisi darurat lahan basah.
“Indonesia sejak zaman kerajaan itu sudah wetland sentris, tapi saat ini kita dalam kondisi darurat lahan basah. Ada banyak hal yang perlu menjadi perhatian negara,” ucapnya.
Hal ini ia sampaikan dalam Workshop “Penguatan Eksistensi Lahan Basah melalui Kawasan Ekosistem Esensial sebagai Penopang Ketahanan Pangan dan Jasa Lingkungan” yang diselenggarakan atas kerja sama antara Kementerian LHK dengan Fakultas Geografi UGM.
Workshop ini digelar untuk menyosialisasikan konsep pengelolaan lahan basah sebagai penyangga kehidupan kepada para pemangku kepentingan, meningkatkan pemahaman atas nilai dan fungsi lahan basah di Indonesia, serta meningkatkan peran serta seluruh pihak dalam pengelolaan dan pembangunan lahan basah di Indonesia.
Lahan basah sendiri adalah daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan dengan air yang tergenang atau mengalir, termasuk wilayah perairan laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut. Beberapa tahun terakhir, lahan basah mengalami kerusakan yang mengkhawatirkan, salah satunya peristiwa kebakaran lahan gambut di beberapa wilayah yang bahkan telah mendapat sorotan dari masyarakat internasional.
Lebih lanjut ia menjelaskan lahan basah sebenarnya memiliki nilai ekonomi yang sangat penting bagi penduduk yang tinggal di sekitarnya, yaitu melalui produksi sumber daya alam hayati seperti ikan, padi, tanaman obat, kayu hutan, serta sebagai sarana transportasi.
Dari aspek ekologi, lahan basah berfungsi sebagai pelestari sistem tata air sehingga dapat mencegah banjir, erosi, dan intrusi air laut, pencemaran, dan berperan sebagai pengendali iklim global, serta sebagai habitat flora dan fauna yang penting bagi kekayaan keanekaragaman plasma nutfah dunia.
Menyadari peran vital ekosistem lahan basah sebagai modal pembangunan berkelanjutan, perlu ada kesamaan visi dalam rangka pembangunan mewujudkan ketahanan pangan dan jasa lingkungan. Upaya untuk menjaga kelestarian lahan basah menurutnya harus mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak.
Kerusakan lahan basah, jelasnya, dipercepat oleh faktor degradasi kearifan lokal, lemahnya kebijakan dan penegakan hukum, bencana alam, serta penggunaan teknologi yang gagal. Di dalam era revolusi industri 4.0, Suratman menuturkan bahwa diperlukan strategi pengelolaan tropical wetland 4.0 yang mengandung inovasi kebijakan, inovasi pembangunan, serta inovasi dalam manajemen dan branding.
“Perlu menjamin kelembagaan multihelix untuk wetland eco-economy branding dan memastikan produk jasa wetland dan promosi pada jejaring pasar global yang modern berbasis IT,” imbuhnya.
Beberapa pembicara yang dihadirkan dalam workshop ini antara lain Dr. Benito Heru Purwanto, M.Sc. dari Fakultas Pertanian UGM yang memberikan paparan terkait pangan berkelanjutan pada lahan basah di Indonesia, Dr. Djaka Marwasta, S.Si., M.Si. dari Fakultas Geografi UGM dengan paparan terkait sumber daya manusia dan state of the art sosial ekonomi ekologi lahan basah, Prof. Pudji Astuti dari Fakultas Kedokteran Hewan dengan paparan keberadaan satwa sebagai indikator keseimbangan ekosistem lahan basah, serta Dirjen KSDAE selaku pembicara kunci.
Selain mengundang perwakilan dari Pemda Kabupaten dan Provinsi selaku stakeholder lahan basah, workshop ini turut dihadiri oleh pengelola situs ramsar di Indonesia, perwakilan LSM, serta balai konservasi sumber daya alam yang memiliki kawasan ekosistem esensial lahan basah. (Humas UGM/Gloria)