Ada tiga pilar utama dalam Program Indonesia Sehat guna mendukung terwujudnya peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia. Ketiga pilar tersebut adalah paradigma sehat, penguatan Pelayanan Kesehatan (Yankes) dan soal Jaminan Kesehatan Nasional.
Dina Sintia Pamela, S.Si., Apt., M.Farm, Kasubdit Manajemen dan Klinikal Farmasi, Direktorat Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, mengungkapkan perlunya mendorong pilar penguatan pelayanan kesehatan melalui peningkatan kuantitas dan kualitas. Dalam peningkatan kualitas perlu untuk meningkatkan akses masyarakat, baik akses terhadap fasilitas, akses terhadap obat dan alat kesehatan, dan akses terhadap sumber daya manusia yang berwenang dan berkompeten, termasuk apoteker.
“Kita sekarang mendorong seluruh puskesmas di Indonesia dan diupayakan ada tenaga apotekernya karena ternyata masih sedikit apoteker yang ada di Puskesmas, terlebih yang berada di daerah terpencil dan daerah kepulauan. Ini salah satu tantangan pembangunan dalam memeratakan sumber daya kesehatan dan kita berharap apoteker bisa berkontribusi. Karena itu, yang berasal dari daerah tolong kembali ke daerah, jangan ngumpul di Jogja setelah lulus,” katanya pada seminar nasional dan Talkshow Kefarmasian bertajuk Perkembangan Paradigma Apoteker dalam Menghadapi Disrupsi Percepatan Inovasi di Era Revolusi Industri 4.0, pada Minggu (20/10) di Hotel Grand Mercure Yogyakarta.
Terkait tema seminar, kata Dina Sintia, masalah pembangunan kesehatan era saat ini senantiasa bersentuhan dengan Informasi Teknologi. Keberadaan IT ini, menurutnya, ibarat pedang bermata dua, di satu sisi memberi peluang yang sangat baik karena membantu dalam menghadapi berbagai permasalahan kesehatan. Tetapi, di sisi lain jika dimanfaatkan orang tidak bertanggung jawab bisa-bisa menjadi bumerang bagi pasien karena keselamatannya bisa terlupakan.
“Penggunaan obat bisa-bisa tidak rasional. Sebab, masyarakat bisa beli online, sakit apa bisa beli langsung, tidak ada sedikitpun arahan dari tenaga medis atau apoteker,” ucapnya.
Meski begitu, banyak pihak mau tidak mau harus merangkul era ini. Era industri 4.0 ini dalam kenyataan sudah mengusai semua lini hidup manusia.
Teknologi yang telah membuat hidup semakin sederhana dan nyaman serta perlu disiapkan saat memasuki revolusi industri 4.0. Hal-hal yang perlu disiapkan antara lain persoalan kesiapan sumber daya manusia.
“Mau tidak mau kita memanfaatkan teknologi itu. Dimungkinkan pula peluang-peluang pekerjaan juga bisa hilang. Pertanyaannya bagaimana profesi apoteker atau farmasi menyikapi ini? Tentu kita sendiri yang akan menjawab, akan ada risiko 40 persen pekerjaan hilang akibat kemajuan era ini,” imbuhnya.
Dekan Fakultas Farmasi, Prof. Dr. Agung Endro Nugroho, S.Si., M.Si., Apt., menyatakan jumlah perguruan tinggi farmasi di Indonesia saat ini mencapai 264. Jumlah ini tentu lebih banyak dari jumlah prodi bidang kesehatan lainnya sehingga hal ini menunjukkan jika apoteker dan calon apoteker sebetulnya memiliki kekuatan di Indonesia.
“Jika dikelola dengan baik akan meningkatkan eksistensi apoteker. Kita perlu mencermati tantangan dan kesempatan yang ada. Kemudian cermat mempersiapkan diri demi menyongsong revolusi industri 4.0,” paparnya.
Selain dua pembiara di atas, pembicara lain yang hadir untuk mengisi seminar dan talkshow adalah Manufacturing Director PT Kalbe Farma, Drs. Pre Agusta Siswantoro, MBA, Apt., Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Drs. Nurul Fallah Eddy Pariang, Kepala Instalasi Farmasi RSUP dr Sarjito, Asri Riswiyanti, SF, Apt, M.Sc, dan Dra. L. Endang Budiarti, M.Pharm, Apt. Seminar ini merupakan salah satu rangkaian Pharmacious 2019 yang sebelumnya telah digelar Debat Nasional Kefarmasian serta Kompetisi Poster Publik yang bertempat di Fakultas Farmasi UGM. (Humas UGM/ Agung)