![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/10/29101915723364691476237558-766x510.jpg)
Jamaah Shalahuddin UGM menjadi tuan rumah Musyawarah Daerah (MUSDA) Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus Daerah (FSLDK-D) ke-17 pada 26-27 Oktober 2019 lalu. FLSDK-D merupakan agenda dua tahunan dari Lembaga Daerah Kampus yang dilaksanakan tiap daerah.
Dalam MUSYDA, serangkaian topik dibahas, dari struktur kepengurusan Pusat Komunikasi Daerah hingga tuan rumah FSLDK-D untuk tahun selanjutnya. Pada FSLDK-D sebelumnya telah ditentukan bahwa JS UGM diberi amanah sebagai tuan rumah.
Tema yang diangkat dalam FSLDK-D tahun ini adalah, “Islam : Agama Penyelamat dan Rahmat bagi Seluruh Alam Semesta”. Tema tersebut dipilih karena citra FSLDK selama ini dipandang sebagai afilisasi dari golongan tertentu yang dianggap radikal. Padahal, LDK yang ada di Indonesia berbeda-beda proses terbentuk, kelembagaan, dan kondisi lingkungannya. Hal itu membuat hubungan antar LDK semata-mata karena ikatan ukhuwah islamiyah. FSLDK pun akhirnya menjadi rumah bagi tiap LDK.
Dalam Grand Opening MUSYDA FLSDK-D ke-17 pada Sabtu (26/10), Prof. Drs. Purwo Santoso, MA., Ph.D., selaku pembicara menyampaikan tentang hubungan kenegaraan dan keagamaan di negeri ini. Ia menjelaskan bahwa negara memiliki wewenang dan hak eksklusif untuk melaksanakan kehendak. Wewenang ini dapat diartikan sebagai kontrol terhadap wilayahnya yang diimplementasikan melalui hukum negara.
Sementara beragama, menurut Purwo Santoso, memiliki makna mengekspresikan religiusitas dan wacananya. Peran aktivis dakwah yaitu kritis dan tidak mudah menyalahkan orang lain.
“Dahulu kedua hal tadi, yakni bernegara dan beragama, dikomunikasikan dengan kuat oleh Gus Dur dan Cak Nun. Namun, kini sudah tidak lagi karena dipicu kesadaran akan seruan beragama untuk identitas sebagai bagian dari politik identitas,” tutur guru besar Fisipol UGM ini.
Ia menilai hal tersebut diperparah dengan logika bernegara yang dipakai dalam ranah beragama sehingga membuat masyarakat terlalu fokus terhadap produk hukum (syariah) dan bukan aqidah sebagai inti utama dari beragama Islam. Kecanduan syariah ini kemudian mengarah ke fundamentalisme serta praktik keagamaan yang sangat tekstual.
“Dalam beragama, perihal konteks juga perlu diperhatikan. Hal itu agar orang yang pandai beragama juga memahami kebudayaan dan sebaliknya juga. Sayangnya selama ini tidak demikian. Maka selanjutnya tantangan kita bersama adalah menghindari formalisme dalam beragama,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)