Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan, menilai persoalan radikalisme di Indonesia merupakan masalah nasionalisme yang saat ini sudah terkikis. Hal ini mengemuka dalam diskusi di R Multimedia UGM, Sabtu (2/11).
“Ini adalah masalah nasionalisme kita yang saat ini sudah terkikis,” terang Ken.
Pernyataan tersebut membuka diskusi dengan tema “Deradikalisasi” yang diselenggarakan oleh Dewan Guru Besar UGM. Ken merupakan seorang mantan Panglima NII yang telah kembali membela NKRI. Tidak hanya itu, ialah yang merintis berdirinya NII Crisis Center sebagai pusat rehabilitasi bagi korban NII.
Ken kini juga aktif mengkampanyekan bahaya ideologi radikalisme yang dulu pernah dianutnya ketika masih di NII. Ia secara berkala diundang menjadi pembicara dalam beberapa seminar dan diskusi terkait bahaya radikalisme tadi.
Lebih lanjut dalam diskusi tersebut Ken menyatakan bahwa terdapat tiga tahapan doktrin radikalisme. Hal tersebut yakni dimulai dari Iman, berlanjut ke Hijrah, dan puncaknya ada pada Jihad. Tahap yang terakhir tadi yakni Jihad, merupakan titik yang membuat seseorang menjadi radikal. Hal itu karena dalam tahap ini terdapat prinsip untuk memerangi orang kafir, baik melalui perkataan maupun perbuatan.
Menurut Ken, doktrin ini bermula ketika NII pertama yang dibawa oleh Kartosuwiryo dulu gagal melancarkan aksinya. Organisasinya kemudian pecah menjadi dua, salah satunya yang dibawa Abu Bakar Ba’asyir. Niat mereka adalah untuk meneruskan nilai dari Kartosuwiryo tadi. Namun, mereka akhirnya diusir karena bentrok dengan aparat.
“Akhirnya, mereka pindah ke Malaysia, ketemulah dengan dr. Azhari dan Noordin M. Top. Dari sana mereka diajak ke Afghanistan, ketemu lagi dengan Osama Bin Laden. Melalui Osama Bin Laden inilah doktrin untuk memerangi kafir mulai muncul, yang kala itu konteksnya memerangi Amerika dan sekutunya,” paparnya.
Ken menyebut bahwa kini doktrin tersebut terus hidup di Indonesia. Ia juga menyebut penyebarannya masih terus berlangsung. “Banyak pemuda pun menjadi simpatisan mereka, utamanya dari kalangan mahasiswa, makanya sering kita dengar anjuran-anjuran untuk Jihad di beberapa pengajian kampus,” tuturnya.
Beberapa hal yang, menurut Ken, dapat mengidentifikasi dari simpatisan, yang juga dirinya sebut sebagai “korban”, yakni terdapat perubahan signifikan pada sikap mental mendua, lantaran harus hidup dalam dua dunia yang berbeda. Mereka biasanya meninggalkan keluarga, sekolah, atau kuliahnya karena kegiatan yang intens dari gerakan tersebut. Oleh karena intensitas tersebut, mereka cenderung menjadi pribadi yang tertutup, tertekan jiwanya, manipulatif, serta minim empati.
Akan tetapi, Ken menyatakan masalah pada individu tersebut akan muncul ketika mereka keluar dari NII, entah karena alasan apapun itu. “Mereka yang keluar dari gerakan, biasanya akan menjadi stres, depresi, bahkan gila karena kesusahan untuk beradaptasi dengan kehidupan normal di luar gerakan,” ungkapnya.
Oleh karenanya, Ken berinisiatif mendirikan NII Crisis Center sebagai pusat rehabilitasi bagi mereka yang dirinya sebut “korban” tadi. Pusat rehabilitasi tersebut ia dirikan atas dasar pengalamannya sendiri maupun rekan-rekannya bekas simpatisan gerakan tadi. Hal itu agar para “korban” tadi dapat memulai hidupnya lagi sebagai warga negara Indonesia seperti sediakala.
Terakhir, Ken berpesan agar lebih baik tidak masuk gerakan tersebut sama sekali daripada harus melewati masa rehabilitasi tersebut. Beberapa tips disarankan olehnya untuk mengantisipasi agar tidak mudah terbawa oleh gerakan tersebut. Hal tesebut antara lain: pelajari agama hingga paripurna dari ahlinya; kenali modus perekrutan gerakan radikal tersebut, tolak tegas apabila mulai diajak kajian sembunyi-sembunyi; berdialog dengan orang lain bila mendapat materi yang tidak dimengerti; dan kritis walaupun dalam konteks agama agar tidak mudah tersugesti.
“Selain tips tersebut, kita juga bisa membentengi diri dengan menanamkan sikap nasionalisme pada diri kita. Oleh karena itu, saya berharap pemerintah memperbanyak wadah bagi anak muda, seperti pemberdayaan komunitas, pendekatan melalui kearifan lokal, serta memperbanyak kompetisi bakat,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)