Berbagai strategi ditempuh untuk pengembangan energi terbarukan, diantaranya dengan mewajibkan pelaku energi untuk memanfaatkan energi terbarukan dan mengupayakan komitmen penerapan efisensi energi serta menciptakan budaya hemat energi.
Sementara itu, instrumen kebijakan yang diambil dapat melalui berbagai peraturan, perundang-undangan, perpajakan, kemitraan, pendanaan pemerintah dan mekanisme pasar. Misalnya, dengan pemberian intensif bagi pengembang energi terbarukan, kewajiban perusahaan pembangkit energi fosil untuk memiliki energi terbarukan dalam persentase tertentu.
Atau melalui kebijakan tata niaga panasbumi yang dapat menurunkan biaya operasi dan kewajiban kalangan industri besar untuk memakai sumber energi terbarukan.
Demikian ungkapkan Prof Dr Indarto DEA saat mengucapkan pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Teknik UGM, hari Rabu (26/7) di ruang Balai Senat UGM.
Dalam pidato berjudul “Sumber, Konversi dan Konservasi Energi†Pak Indarto mengungkap bahwa tantangan terberat dalam pengembangan energi terbarukan adalah bagaimana bisa menyelaraskan upaya pengembangan energi terbarukan dengan peluang pasar yang ada di Indonesia dan bagaimana mampu mengakses ke sumber keuangan global menyangkut energi hijau dan energi bersih.
Menurutnya, saat ini perlu dilakukan identifikasi mengenai hambatan, pengalaman, celah dan pelajaran dari kasus yang ada guna menghasilkan kebijakan yang mendukung terwujudnya iklim bisnis energi terbarukan yang kondusif.
“Dari sebuah kajian, maka pada pertengahan abad ke-21 Sistim Energi Terbarukan (SET) akan mampu memasok 60% kebutuhan listrik dunia, dan apabila SET serta efisiensi pemakaian energi secara bersama dapat diupayakan dengan sungguh-sungguh maka pada tahun-tahun tersebut tingkatan kandungan CO2 diperkirakan sudah turun mencapai 75% dari tingkatan di tahun 1985â€, tandas Dekan FT UGM mengutip pendapat Aritonang (Humas UGM).