![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/11/05111915729149401736163275-614x510.jpg)
Pemerintah Indonesia diharapkan mendorong kerja sama pembangunan dengan negara-negara berkembang dalam bentuk kerja sama selatan-selatan. Sebab, Indonesia dianggap negara yang menginisiasi kerja sama selatan-selatan lewat Konferensi Asia Afrika yang pernah dilaksanakan pada tahun 1955 di Bandung. Namun demikian, isu yang diangkat sekarang ini tidak lagi pada perjuangan penghapusan penjajahan, namun isu kemiskian dan ketidakadilan global.
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam Annual Convention on the Global South yang bertajuk “Rethinking International Relation in the Era of Technological Disruption, 5-6 November di Balai Senat UGM. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Fisipol UGM ini menghadirkan beberapa orang pembicara diantaranya Guru Besar Bidang Hubungan Internasional UGM, Prof. Mohtar Mas’oed, dan pengajar Ilmu Politik Hubungan Internasional Universitas of Delhi, India, Prof. Ashok Acharya.
Ashok mengatakan semangat dari pertemuan Bandung masih sangat relevan hingga sekarang. Menurutnya, solidaritas dari negara tersebut perlu diperkuat kembali dengan mengangkat isu yang menjadi persoalan bersama. “Kita ingin mengembalikan spirit Bandung sebagai bentuk kerja sama transnasional dalam mengampanyekan isu ketidakadilan global,” kata Ashok.
Menurutnya, sebagian besar negara kawasan selatan-selatan menghadapi permasalahan yang hampir sama, yakni tingkat kemiskinan dan tingkat kelaparan yang parah, konflik, penyakit, migrasi, pelanggaran hak asasi. Selain itu, negara Asia dan Afrika dihadapkan pada isu ketidaksetaraan global, eksploitasi sumber daya, perdagangan internasional, perubahan iklim, pengungsi migran, dan kewarganegaraan global.
Isu-su tersebut menurutnya perlu mendapat perhatian dari para pemimpin negara negara Asia dan Afrika, sebab sekitar satu persen populasi orang kaya di dunia telah menguasai 46 persen tingkat kesejahteraan global. Apabila hal itu tidak dicarikan solusinya maka akan terjadi kesenjangan ekonomi global yang semakin melebar. “Untuk itu kita mewujudkan kerja sama untuk memecahkan persoalan ketidaksetaraan ini,” katanya.
Guru Besar Hubungan Internasional Fisipol UGM, Prof. Mohtar Mas’oed, mengatakan negara-negara berkembang sekarang ini dihadapkan pada kenyataan perkembangan teknologi dan evolusi bisnis. Lewat revolusi industri, setiap pemerintah dituntut mampu memberikan layanan lebih mudah dan transparan serta mampu meningkatkan perekonomian dengan adanya disrupsi teknologi. “Hampir terjadi di seluruh negara masyarakatnya menginginkan adaptasi dari layanan teknologi baru untuk diterapkan,” katanya.
Kemampuan berkompetisi di tingkat global, menurut Mochtar, menjadi mantra baru dari percaturan politik hubungan kerja sama internasional. “Ada keinginan untuk membangun solidaritas, namun di sisi lain setiap negara menghadapi kenyataan politik masing-masing,” katanya.
Penguasaan terhadap teknologi menurutnya sebagai bagian dari posisi tawar negara-negara maju sekarang ini. Sebaliknya negara berkembang dihadapkan pada kenyataan bahwa mereka mampu menguasai apalagi budaya riset dan pengembangan yang masih minim. Ia mengutip hasil laporan Unesco pada tahun 2017 yang menyebutkan bahwa rasio dana riset terhadap GDP Indonesia saja masih rendah dibanding negara lain. Seperti diketahui angka rasio dana riset terhadap GDP Indonesia berada di angka 0,24. Sementara China 2,13, India 0,62, Korea 4,55, Malaysia 1,44, Singapura 2,22 Amerika Serikat 2,80, dan Vietnam 0,53. Menurutnya, kebijakan pengembangan riset dan teknologi ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi Mendikbud, Nadiem Makarim, untuk meningkatkan kemampuan kompetisi bangsa Indonesia di tingkat global. (Humas UGM/Gusti Grehenson)