![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/11/181119157405989121425646-766x510.jpg)
ASEAN Studies Center UGM menyelenggarakan diskusi publik dan peluncuran buku dengan tema “The Evolution of the ASEAN Human Rights Mechanism: Institutional and Thematic Issues Within” pada Sabtu (16/9) di Ruang Seminar Timur FISIPOL UGM.
Diselenggarakan dalam rangka peringatan ulang tahun ke 10 The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), diskusi ini mengulas upaya penegakan HAM di ASEAN serta berbagai tantangan yang dihadapi.
“Ada berbagai tantangan yang dihadapi saat ini, salah satunya semakin berkurangnya ruang sipil di banyak negara-negara di Asia Tenggara,” tutur Dr. Randy W. Nandyatama, M.Sc., salah satu peneliti senior ASC.
Ia memaparkan beragam kesempatan yang ada, seperti bertambahnya jumlah perjanjian yang berkaitan dengan HAM di ASEAN serta munculnya aktivisme dan jaringan masyarakat sipil di Asia Tenggara. Meski demikian, terdapat beragam tantangan seperti eksklusifitas ASEAN serta masih umumnya pandangan yang melihat HAM sekadar sebagai persoalan moralistik.
Karena itu, dalam waktu mendatang, diperlukan upaya untuk menjadikan ASEAN lebih terbuka dan inklusif, di antaranya dengan keterlibatan organisasi masyarakat sipil yang krusial tidak hanya untuk memberikan tekanan politik tetapi juga memberikan dukungan kepada negara-negara anggota, terutama sebagai sumber masukan eksternal.
“Organisasi masyarakat sipil dapat menjadi esensial dalam meningkatkan komunikasi antara aktor negara dan non-negara, menciptakan jalinan yang dekat antara komunitas di wilayah ASEAN,” imbuhnya.
Di samping itu, untuk tetap menjadikan ASEAN relevan, ASEAN menurutnya perlu selalu memiliki ide yang segar dan kreatif dalam merespon berbagai tantangan HAM kontemporer.
Permanent Representative of Indonesia to ASEAN, H.E. Amb. Ade Padmo Sarwono, menyatakan bahwa upaya membangun mekanisme penegakan HAM di tingkat kawasan bukanlah hal yang mudah. Organisasi regional lain yang lebih lama berdiri, ujarnya, masih banyak menghadapi kesulitan. Terlebih lagi ASEAN dengan AICHR yang baru berusia 10 tahun.
“Mekanisme regional yang bisa dikatakan lebih dewasa pun masih menghadapi masalah. Jadi jangan putus asa. Meskipun dalam 10 tahun ini kita baru mengambil langkah kecil, saya percaya kita akan mencapai perbaikan dalam promosi HAM,” kata Ade.
Ia mengungkapkan pentingnya membangun komunikasi di antara para aktor, agar negara-negara anggota dapat sampai pada kesepakatan atau pemahaman yang sama. Hal yang sama diungkapkan oleh H.E. Amb. Phassporn Sangasubana, Permanent Representative of Thailand to ASEAN. Ia menyebut upaya ini sebagai proses evolusional yang bisa memakan waktu yang cukkup lama namun sangat penting bagi kepentingan bersama.
“Ini adalah sebuah proses evolusional yang memerlukan adanya dialog yang konstan dengan semua anggota,” ucapnya.
AICHR sendiri didirikan pada 23 Oktober 2009 pada the 15th ASEAN Summit di Cha-Am Hua Hin, Thailand, sebagai wujud komitmen ASEAN untuk mencapai strategi ke depan dalam memperkuat kerja sama regional di bidang HAM.
Perwakilan Indonesia untuk AICHR, H.E. Yuyun Wahyuningrum, menerangkan bahwa AICHR dilahirkan dengan berbagai pembatasan sekaligus kemungkinan. Pembatasan yang ia maksud misalnya tidak memiliki mandat untuk melakukan pencarian fakta, pengawasan, serta investigasi HAM, serta kurangnya independensi dari para perwakilan. Meski demikian, AICHR dimungkinkan untuk mendengarkan cerita dari para korban, kekuatan untuk melakukan persuasi melalui platform dialog, serta menetapkan titik fokus pada isu-isu spesifik. (Humas UGM/Gloria)