Wisata halal (halal tourism) sedang menjadi tren baru dalam perkembangan pariwisata global. Peningkatan jumlah warga muslim kelas menengah atas di berbagai belahan dunia menjadi ceruk pasar bagi pengembangan wisata halal. Tidak mengherankan jika negara-negara yang mengandalkan pada sektor pariwisata baik yang memiliki penduduk mayoritas muslim maupun minoritas muslim terus menggenjot wisata halal.
Indonesia pun merespons tren tersebut sejak kurang lebih 5 tahun terakhir dan sejumlah provinsi mendesain sebagai destinasi wisata halal. Salah satunya dan yang difavoritkan adalah Provinsi NTB (Lombok). Lombok telah beberapa kali memperoleh penghargaan internasional yang terkait dengan wisata halal. Perda tentang wisata halal pun dimiliki oleh NTB sejak tahun 2016.
Tim Peneliti Asean Study Center (ASC) Fisipol UGM yang dipimpin Dr. Suharko, S.Sos., M.Si telah melakukan penelitian tentang kelembagaan kepariwisataan yang meliputi regulasi, organisasi, sertifikasi dan standardisasi maupun sumber daya manusia di Lombok tahun 2016. Secara umum penelitian tersebut menemukan bahwa kelembagaan kepariwisataan belum sepenuhnya mampu menunjang pengembangan wisata halal.
“Perkembangan di Lombok sebagai destinasi utama dari wisata halal di Indonesia dalam 4 tahun terakhir, termasuk kejadian gempa bumi tahun 2018, tentu menarik didiskusikan lebih lanjut, tidak hanya yang berkaitan dengan aspek kelembagaan, namun juga aspek-aspek yang lain, seperti tata kelola wisata halal, transformasi sosial ekonomi yang diakibatkan oleh tren wisata halal, dan isu-isu wisata halal lainnya,” ujar Suharko, di Pusat Studi Pariwisata UGM, Kamis (21/11) saat berlangsung Seminar Halal Tourism Lombok.
Meski tergolong cepat dalam membuat regulasi terkait halal tourism, kata Suharko, namun regulasi yang ada belum secara gamblang menjelaskan halal tourism dan landasan hukumnya. Meski begitu, harus diakui pemerintah provinsi cukup gencar menyuarakan halal tourism disamping dalam bentuk regulasi sehingga keterbatasan ini dapat diatasi.
Sedangkan terkait organisasi pariwisata dan respons stakeholder, menurutnya, terdapat berbagai macam pandangan mengenai halal tourism. Masih ditemui pro kontra di tengah masyarakat termasuk di kalangan stakeholder pariwisata di Lombok.
“Bahkan penolakan pun datang dari Bupati Lombok Timur,” ucapnya.
Menurutnya, proses sertifikasi belum optimal dari hulu ke hilir, namun saat ini pemerintah pusat sudah melakukan proses yang lebih memadai. Meski begitu, belum ada sertifikasi untuk hotel dan pramuwisata halal tourism.
Munculnya berbagai masalah di awal pengembangan pariwisata halal dan pariwisata umumnya di Lombok ini memang disebabkan belum didukung oleh SDM yang memadai. Hanya saja saat ini Lombok sudah memiliki politeknik pariwisata sebagai respons atas permasalahan SDM pariwisata.
Suharko mengakui hingga saat ini masih terjadi perbedaan persepsi mengenai pariwisata halal di Lombok. Meski tidak setajam sebelumnya, perbedaan persepsi antara stakeholder ini misalnya tercermin dalam ketidak jelasan destinasi wisata halal, dan hanya sebagian pelaku pariwisata yang menyediakan paket tur wisata halal.
Hal yang patut disyukuri, katanya, pengelolaan pariwisata halal di Lombok saat ini lebih rapi dibanding sebelumnya karena terkait dengan kebijakan pemerintah pusat. Hanya saja hingga 2019, jumlah restoran yang sudah disertifikasi baru 40 persen dari target yang ada.
“Saat ini Lombok telah memiliki hotel yang menyatakan diri sebagai hotel halal: Grand Madani. Sedangkan keberadaan Politeknik Pariwisata dan juga Lembaga Pendidikan yang menyediakan program pariwisata berdampak pada munculnya SDM yang lebih memadai. Hal ini jauh lebih besar jjika dibandingkan sebelum tahun 2016 yang mana hanya sebagian lembaga pendidikan di Lombok yang memiliki program pariwisata,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung)