Jumlah penderita kanker yang dirawat di rumah sakit di seluruh Indonesia bertambah dari tahun ketahun, demikian juga kematian bertambah karena naiknya jumlah penderita tersebut. Data Depkes tahun 1989 memperkirakan 33.000 dari 177.000 kasus baru setiap tahun dirawat di rumah sakit di Indonesia.
Di Indonesia, sampai saat ini belum ada data pasti pengidap kanker payudara. Data Depatemen Kesehatan (1986) menyebut, bahwa kanker payudara menempati urutan kedua setelah kanker leher rahim. Terdapat kenaikan jumlah penderita kanker yang dirawat di rumah sakit dan jumlah kematian akibat penyakit tersebut. Data Surkesnas (2001) menyebutkan, di Indonesia, penyakit kanker sendiri menjadi penyebab kematian kelima.
“Keganasan kanker payudara di Indonesia menempati urutan kedua pada wanita setelah kanker leher rahim pada penelitian pathological-based, dengan frekwensi relatif 15,83% sesudah kanker leher rahim (25,57%), walaupun di beberapa rumah sakit besar telah terlihat bahwa frekwensi relatif kanker payudara lebih tinggi dibanding kanker rahim,†ungkap Prof. Dr. dr. Teguh Aryandono, SpB (K)Onk, Senin (3/3), di Balai Senat UGM.
Dosen Ilmu Bedah FK UGM menyampaikan hal itu, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Kedokteran UGM. Kepala Bagian/SMF Ilmu Bedah FK UGM/ RS Sardjito ini mengucap pidato “Kemajuan Dalam Penelitian, Penanganan dan Deteksi Dini Penderita Kanker Payudara Dengan Perhatian Khusus Pada Kualitas Hidupâ€.
Dikatakannya, penelitian pathological-based di Bagian Patologi FK UGM pada tahun 1995, menunjukkan terdapat kenaikan frekwensi relatif kanker payudara menjadi 24,58% diikuti kanker leher rahim sebesar 17,28%. Namun sayang, di Indonesia belum terdapat penelitian population-based terbaru, demikian pula dengan data registrasi kanker nasional yang dapat diandalkan.
“Data dari instalasi Kanker Terpadu Tulip di RS Sardjito Yogyakarta menunjukkan dari tahun ke tahun terjadi kenaikan kasus kanker payudara. Di tahun 2005, dari 1269 kunjungan penderita di Instalasi Kanker Terpadu Tulip, terbanyak adalah kanker payudara (31,1%), disusul kanker leher rahim (4,9%) dan usia penderita terbanyak 46 – 50 tahun,†ujar pria kelahiran Yogyakarta, 18 Desember 1951 ini.
Menurut Aryandono, penderita kanker payudara yang datang di Bagian Bedah di tiga rumahsakit di Yogyakarta (RS Sardjito, Panti Rapih dan Patmasuri), sebagian besar pada stadium IIIB (33,86%), yang merupakan stadium lanjut lokal. Pada keseluruhan kasus, stadium III sebanyak 48,26%, sedangkan stadium IV didapatkan pada 7,1% subyek.
“Keadaan ini tidak banyak berbeda dengan kondisi di Malaysia maupun Thailand, dengan faktor ekonomi dan sosial budaya yang tidak banyak berbeda dengan Indonesia,†jelasnya.
Penelitian di Yogyakarta, kata Aryandono, menunjukkan terjadi pergeseran umur penderita kanker payudara, menjadi lebih muda dibanding di negara barat dengan fenotipe agresif. Usia terbanyak antara 40-49 tahun, sedangkan di negara barat biasanya terjadi pada masa monopause.
“Hal yang sama terjadi pada negara-negara di Asia, Malaysia, Jepang, Korea dan lain-lain. Hal ini kemungkinan karena efek kohort, yaitu terjadinya perbaikan gizi dan perubahan lingkungan pasca perang dunia kedua, yang memicu kejadian kanker payudara. Sehingga, penelitian dalam bidang molekuler dan genetika masih sangat terbuka untuk mengetahui penyebab kanker payudara di Indonesia,†ungkap editor Majalah Berkala Kesehatan Klinik ini.
Dibagian lain pidatonya suami Dra. Y. Wijayaningsih mengatakan kendala lain penanganan kanker payudara maupun kanker lain adalah adanya terapi alternatif yang berkembang sangat luas di masyarakat. Sebagian besar penderita akan memakan obat-obatan suplemen, obat-obat ramuan Cina, akupuntur, atau pengobatan lain yang ditawarkan siapapun untuk melawan kanker.
“Sebagian besar pengobatan ini tidak terbukti berguna melawan kanker, walaupun beberapa telah dicoba pada penderita-penderita kanker,†ungkap ayah tiga anak, kakek satu cucu ini.
Penanganan lain adalah dengan melalui terapi komplementer, yaitu terapi yang digunakan bersama-sama terapi medis. Apabila dipilih secara benar, kemungkinan memberikan kenyamanan.
“Terapi ini sebagian telah diuji, sebagian belum, sebagian berguna, sebagian tidak, walaupun efek samping tetap saja ada,’ tambah Aryandono.
Terkadang, katanya terapi alternatif menjadi terapi yang dipilih sebagai pengganti terapi medis. Walaupun telah terbukti tidak bermanfaat maupun terbukti merugikan, terapi ini tetap ditawarkan sebagai yang bisa “menyembuhkanâ€. Apabila penderita memilih terapi ini, meski tidak membahayakan, akan selalu merugikan karena memperlambat terapi medis yang telah terbukti berguna dalam pengobatan kanker payudara.
“Karena itu sebelum menambah atau mengganti terapi medis yang ada, sebaiknya penderita membicarakan dahulu untung rugi pemakaian ‘obat-obat’ ini dengan dokter yang merawat,†ucap Ketua Panitia Kanker RS Sardjito 1998-2003 menyarankan.
Lalu, bagaimana sesungguhnya harapan penderita kanker payudara yang mencari kesembuhan ke dokter? Padahal, kanker payudara sering dianggap vonis kematian oleh penderita.
Kata Aryandono mengutip penelitian Burgess (2005), hampir 50% penderita diagnosis kanker payudara stadium awal mengalami kecemasan dan depresi pada tahun-tahun pertama, 25% pada tahun kedua, ketiga dan keempat, serta 15% pada tahun kelima.
“Depresi akan lebih lama dialami penderita, yang sebelumnya mengalami gangguan psikologis, kurang harmonis dalam hubungan keluarga, usia muda dan pengalaman stress sebelumnya,†tandasnya.
Untuk itu, pemberian informasi efektif dan komunikasi yang baik dari dokter bisa mengurangi atau mencegah terjadinya kecemasan. (Humas UGM)